Rama Sindu Si Novelis Serba Bisa

Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, S.J., sering dipanggil dengan sebutan Rama Sindhu, adalah seorang sastrawan, wartawan harian Kompas, pakar filsafat, kolomnus, pastur (rohaniawan), redaktur budaya majalah Basis, dosen, dan budayawan. Dia dilahirkan dari keluarga Nasrani pada tanggal 12 Mei 1952 di kota Batu, Malang, Jawa Timur. Sindhunata juga keturunan etnis Tionghoa dengan ibu Koo Soen Ling dan bapak Liem Swie Bie. Dia menamatkan pendidikannya dari Seminarium Marianum, Lawang, Malang, Jawa Timur pada tahun 1970. Setamatnya dari sekolah di Malang itu Sindhunata kemudian pindah ke Jakarta. Sambil menjadi wartawan di majalah Teruna, terbitan PN Balai Pustaka (1974—1977) dan Kompas (mulai tahun 1978), Sindhunata melanjutkan studinya di Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya, Jakarta (1974—1980). Tahun 1983 Sindhunata juga menamatkan kesarjanaannya dari Institut Filsafat Teologi Kentungan, Yogyakarta. Kemudian, tahun 1986 Sindhunata pergi melawat ke Jerman untuk melanjutkan studi doktoral bidang filsafat di Hochschule fur Philosophie, Philosophische Fakultat SJ, Munchen, Jerman, hingga memperoleh gelar philosofi doktor tahun 1992, dengan menulis disertasi tentang pengharapan mesianik masyarakat Jawa.

Kegemaran menulis bagi Sindhunata dimulai sejak duduk di bangku sekolah menengah di Malang pada akhir tahun 1960-an. Buku-buku kebudayaan, filsafat, legenda, babad, sejarah, novel, dan puisi telah dibacanya sejak sekolah Seminari di Lawang, Malang, Jawa Timur. Hasil membacanya itu kemudian melahirkan tulisan yang beragam, baik yang berupa fiksi (puisi, cerita pendek, dan novel), karya ilmiah, laporan pandangan mata, dan filsafat kebudayaan.Rama Sindhu mulai menulis cerita serial (bersambung) di koran Kompas pada tahun 1978. Mula-mula yang ditulisnya adalah kisah Bharatayudha yang menceritakan peperangan antara keluarga Pandawa melawan Kurawa di padang Kurusetra. Kemudian dia juga menulis serial kisah Ramayana di harian Kompas, setiap hari Minggu, selama tahun 1981. Dengan beberapa perbaikan dan tambahan, serial Ramayana yang pernah dimuat di harian Kompas itu diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 1983 dengan judul Anak Bajang Menggiring Angin setebal 363 halaman. Novel Anak Bajang Menggiring Angin dan Putri Cina ada edisi buku elektronik (e-book) yang dapat kita unduh dari internet. Selain itu, Sindhunata juga menulis buku dalam bahasa Jawa, antara lain: (1) Tak Enteni Keplokmu, (2) Aburing Kupu-Kupu Kuning, (3) Nderek Sang Dewi ing Ereng-erenging Redi Merapi, (4) Sumur Kitiran Kencana, dan (5) Nggayuh Gesang Tentrem. 

Dari tangan Sindhunata juga lahir buku kumpulan sajak yang telah diterbitkan adalah Air Kata Kata (2003). Untuk membangkitkan gairah orang agar awet muda, Sindhunata juga menulis buku tentang ilmu tertawa yang berangkat dari dagelan ludruk Jawa Timuran dan Srimulat, berjudul Ilmu Nggletek Prabu Minohek (2004). Sebagai seorang ahli filsafat, Sindhunata juga menulis buku tentang filsafat slebor becak dengan judul Waton Urip (2005). Selain sebagai penulis buku, Sindhunata juga seorang editor beberapa buku ilmiah dan feature. Sekarang Sindhunata menggantikan almarhum Peter Dikc Hartoko sebagai Penanggung Jawab/ Pemimpin Redaksi Majalah Basis, sambil mengajar di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Karier jurnalistiknya dimulai dengan bekerja sebagai wartawan majalah Teruna (1974—1977) terbitan PN Balai Pustaka, Jakarta. Mulai tahun 1978 dia menjadi wartawan harian Kompas, Jakarta. Melalui harian Kompas ini tulisan-tulisan Sindhunata deras mengalir, terutama feature dan kolumnis sepak bola dunia. Catatan sepak bolanya di harian Kompas telah diterbitkan pada tahun 2002

Dalam penulisan buku-buku feature itu Rama Sindhu selalu menampilkan hal-hal yang baru dengan berangkat dari mitos, tradisi, cerita rakyat ataupun kepercayaan lama. Buku Petruk Jadi Guru (Penerbit Buku Kompas, 2007), misalnya, menyajikan dimensi baru dalam jurnalisme. Di dalam buku ini Rama Sindhu tidak lagi sekadar mendeskripsikan perbuatan lahiriah manusia, tetapi lebih dari itu, harus menampilkan spiritualitas dan pergulatan batin manusia yang terdalam. Buku karya Sindhunata itu juga merefleksikan perihal hakikat penderitaan dan kebahagiaan, pemahaman bahwa substansi agama adalah kepedulian pada rakyat kecil, tentang refleksi mengapa penguasa sering lalai pada amanat yang menjadi tanggung jawabnya, dunia binatang sebagai cermin kehidupan manusia, dan keharmonisan dengan alam adalah salah satu kunci menuju kesejahteraan jiwa dan raga.

Melalui feature-nya itu Sindhunata selalu memposisikan dirinya menjadi pribadi yang ikut tirakatan dan keprihatinan dari mereka dan peristiwa yang diamatinya, sehingga dia dapat menyelami dan memahami nilai kebajikan dari guru kehidupan.Gaya-gaya khas Sindhunata seperti itu kini dikenal sebagai jurnalisme sastrawi, yakni sebuah berita yang disampaikan dengan cara khas bercerita seperti dalam karya sastra.Sejak tahun 1980-an Sindhunata menetap di Yogyakarta dan sekarang bertempat tinggal di Kolese Santo Ignatius, Kotabaru, Yogyakarta, dengan hidup membujang, karena seluruh hidupnya dibaktikan kepada Tuhan dengan menjadi seorang penggembala agama Nasrani.

Komentar

Postingan Populer