Novel Lintang Kemukus Dini Hari Karya Ahmad Tohari dan Ekranisasinya

Lintang Kemukus Dini Hari adalah salah satu novel dari Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, karya Ahmad Tohari. Trilogi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Dancer oleh Rene T.A. Lysloff ini terdiri dari tiga buku terpisah dengan judul berurut-turut: Ronggeng Dukuh Paruk (dalam edisi 2003 berjudul Catatan Buat Emak), Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala. Ketiga buku tersebut menjalin rangkaian cerita tentang kisah seorang ronggeng bernama Srintil dan kisah seorang pemuda bernama Rasus, keduanya merupakan rakyat kecil yang berasal dari daerah terpencil, Dukuh Paruk.

Dukuh Paruk, sebuah desa terpencil di Selatan Jawa, yang memiliki ciri budaya tersendiri berupa tradisi ronggeng. Ronggeng adalah simbol kehidupan bagi desa kecil, miskin, dan bersahaja itu. Srintil yang dipercaya telah ‘dirasuki’ indang ronggeng segera dinobatkan tetua adat menjadi pemangku gelar Ronggeng Dukuh Paruk. 

Rasus, lelaki sahabat masa kecil Srintil, sedikit banyak merasa kehilangan Srintil yang resmi menjadi ronggeng. Karena dalam adat pedukuhan tersebut, ronggeng berarti wanita milik semua orang, untuk tidak menyebutkan lonte, atau pelacur. Namun, ronggeng dalam wawasan norma masyarakat Dukuh Paruk tidak kurang dari seorang dewi suci perlambang harga diri kolektif masyarakat desa. Rasus mengalah. Rasus pergi.

Seluruh unsur kehidupan Dukuh Paruk bersemangat, menggeliat, semenjak Srintil menjadi ronggeng. Gairah kehidupan Dukuh Paruk bertahan sampai malapetaka politik tahun 1965 meletus. Selepas tragedi sosial tersebut, Dukuh Paruk seperti kehilangan nyawa. 

Dalam novel ini, Ahmad Tohari terbilang cukup berani untuk mengangkat tema yang termasuk tabu untuk dibicarakan di masanya. Tragedi 1965. Tragedi kemanusiaan yang dianggap sebagai noda sejarah yang diharamkan oleh rezim otoritarian itu, justru menjadi unsur menonjol dalam alur trilogi dalam usahanya membangun klimaks cerita Ronggeng Dukuh Paruk. Dalam cara berceritanya, Tohari  amat piawai mengaduk dan menjungkirbalikkan emosi dan perasaan serta berhasil mengajak  pembaca ke ranah yang tak diduga-duga.


Sinopsis

Novel Lintang Kemukus Dini Hari menceritakan seorang ronggeng Dukuh Paruk yang bernama Srintil. Meskipun dalam tradisi seorang ronggeng tidak dibenarkan mengikat diri dengan seorang lelaki, Srintil tetaplah perempuan biasa yang bisa dan berhak jatuh hati. Lelaki yang dicintainya ini tak lain adalah lelaki yang padanya Srintil serahkan keperawanannya, tak lain adalah lelaki teman masa kecilnya, Rasus. Dengannya Srintil rela bercinta tanpa memungut imbalan harta. Namun, Rasus justru pergi meninggalkannya dengan cara yang paling pahit. Lelaki itu pergi meninggalkan kehampaan yang luar biasa pada diri Srintil. Rasus adalah laki-laki yang meninggalkan kesan begitu mendalam di dalam batin Srintil. 

Ketiadaan lelaki yang dicintainya itu membawa Srintil di dalam pergulatan batin yang dalam tentang makna keperempuanannya, tentang makna dirinya. Beban hidupnya terkurangi oleh kehadiran Goder, bayi Tampi, yang diangkat Srintil menjadi anaknya. Kerinduannya sebagai perempuan untuk menjadi ibu tersalurkan walau Goder bukan buah rahimnya sendiri. Di dalam pergulatan batin yang mendalam itu Srintil menanyakan sebuah pertanyaan tentang: siapakah dirinya itu dan siapakah yang mengatur dirinya itu. 

Selama ini Srintil hanya menurut pada Nyai Kertareja untuk meronggeng atau untuk melayani lelaki manapun, lalu menerima uang atau perhiasan. Namun, pada titik tergetir di dalam hidupnya dia memperoleh martabatnya sebagai pribadi dan berani memilih. Dia berani memutuskan akan naik pentas atau tidak, tidak peduli dengan bujuk rayu Nyai Kertareja. Bahkan, dia berani menolak pelesir dua-tiga hari bersama Marsusi dengan imbalan seratus gram kalung emas dengan bandul berlian. 

Srintil sudah mulai merasa jenuh menjadi seorang ronggeng Dukuh Paruk, sering menolak untuk melayani para lelaki. Bahkan beberapa kali menolak untuk meronggeng. Sebenarnya ia ingin memiliki hidup yang lebih tenang, memiliki suami dan anak. Memiliki keluarga yang bisa menentramkan hatinya. Ia juga masih mengharapkan Rasus, laki-laki Dukuh Paruk yang telah menolak ajakkannya menikah. Martabat pribadi keperempuanannya yang utuh itu menambah pesona sekaligus wibawa Srintil. Di dalam tarian ronggengnya lelakilah yang justru dipermainkan oleh perempuan, bukan sebaliknya seperti di dalam hidup sehari-hari. 

Meskipun Srintil adalah ronggeng yang tenar, dia tetaplah warga Dukuh Paruk yang lugu. Tanpa disadarinya dia terlibat di dalam pergolakan politik pada tahun 1965. Dia terlibat di dalam agitasi dan propaganda politik sebuah partai. Karier kesenimanannya ditunggangi oleh kepentingan politik. Kesenian Ronggeng yang lugu dan tidak memiliki tendensi apa-apa kecuali kesenangan semalam dan birahi itu tanpa dimengerti oleh Srintil dan rombongan ronggengnya diberi cap kesenian rakyat, bahkan Srintil sendiri dijuluki “ronggeng rakyat”. 

Keterlibatannya di dalam pergerakan politik partai itu, walaupun tanpa disadarinya, melarutkan Srintil dan segenap warga Dukuh Paruk di dalam geger besar 1965 yang menjadi luka batin yang mendalam bagi Bangsa Indonesia. Kemanusiaan sama sekali diinjak-injak di dalam pergolakan politik itu. Srintil yang bermartabat, cantik, dan masih belia harus berhadapan dengan ketentuan sejarah yang sekali pun tidak pernah dibayangkannya. Para seniman ronggeng, termasuk dirinya, harus merasakan dinginnya penjara. 


Ekranisasi Novel

"Sang Penari" merupakan sebuah film dengan genre drama yang diadaptasi dari trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Naskahnya dikerjakan oleh Salman Aristo, Shanty Harmayn, dan Sutradaranya sendiri Ifa Isfansyah. Sedanghkan pemainnya adalah Nyoman Oka Antara, Prisia Nasution, Slamet Rahardjo, Dewi Irawan, Landung Simatupang, Hendro Djarot, Happy Salma, Teuku Rifnu, Tio Pakusadewo, Lukman Sardi. 

Film yang diputar serentak di bioskop jaringan XXI mulai 10 November 2011 ini terasa sangat ringkas, padat, dan tepat sasaran. Mengambil setting tahun 60-an, yang tergarap dengan sangat apik , Sang Penari mengisahkan kisah cinta yang terjadi di Kampung Dukuh Paruk antara seorang pemuda lugu bernama Rasus (Oka Antara) dengan seorang gadis bernama Srintil (Prisia Nasution). Kisah cinta disini dibalut dengan latar etnik dan situasi perpolitikan pada masa itu sehingga menjadi sebuah kisah cinta yang sangat berbeda dan luar biasa memikat sejak awal sampai akhir..

Sangat tidak mudah pastinya merangkum tiga buah novel ke dalam sebuah film berdurasi dua jam, dan mereka berhasil mengadaptasinya dengan gemilang. Walaupun tentu saja, bagi yang sudah membaca Novelnya pasti masih saja akan menemukan ketidakpuasan karena sesuatu atau beberapa hal dalam novelnya yang tidak ditampilkan di filmnya. Sesuatu yang sangat wajar ditemui dalam sebuah film adaptasi novel.

Khusus untuk akting para pemain, beruntung sekali film ini memiliki aktor muda Oka Antara yang tampil dengan sangat meyakinkan sebagai tokoh Rasus. Oka terlihat sangat melebur sebagai Rasus yang sangat innocent dan 'ndeso', lengkap dengan logat 'ngapak' nya yang sangat meyakinkan. Oka begitu maksimal memerankan dua karakter sebelum dan sesudah Rasus sebagai tentara. Begitupun dengan Prisia Nasution yang begitu menghipnotis dengan penampilannya sebagai tokoh Srintil.

Prisia terlihat sangat total memerankan Srintil - khususnya saat ia menari dan melakukan 'misi' nya sebagai ronggeng, Prisia mampu memancarkan aura 'magis' yang dimiliki oleh Srintil. Prisia berhasil menciptakan dan menghidupkan karakter Srintil. Padahal, kata Pia (sapaan akrab Prisia Nasution) ia tidak memiliki referensi sama sekali terhadap karakter Srintil.  

Sari Oktafiana, penulis warga yang menyaksikan premiere film tersebut di bioskop XXI Yogyakarta dan menulis laporannya di sosial media Kompasiana mengungkapkan. “Saya pribadi tertarik untuk melihat film tersebut karena memang mengagumi dan telah membaca trilogi novel ronggeng dukuh paruk; Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jentera Bianglala. Bagi saya novel ini luar biasa dan layak untuk direkomendasikan dibaca oleh banyak orang yang hobi membaca. 

Novel ini kental dengan nuansa antropologi dan sosiologi dengan setting kekacauan politik Indonesia khususnya daerah pedesaan pada tahun 1965. Mengupas kemiskinan, rendahnya literasi sehingga eksploitasi manusia dan tragedi kemanusiaan terjadi.” Lanjutnya, "So far, bagi saya sosok Srintil diperankan dengan amat baik oleh Prisia Nasution. walaupun untuk ukuran perempuan Jawa mungkin kulitnya kurang sawo matang. Sosok Rasus yang diperankan oleh Nyoman Oka juga sudah cukup terwakili,".

Sedangkan Ahmad Tohari sebagai pengarang novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk memberikan apresiasi kepada sutradara film Sang Penari. “Filmnya lumayan bagus, penting bagi generasi muda untuk menonton film ini. Ini promosi ya,” kata Ahmad Tohari. Menurut dia, sutradara sangat berani dengan menampilkan adegan dramatisasi politik berupa penembakan orang-orang yang dianggap terlibat Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI). Padahal, kata dia, adegan tersebut tidak ada di dalam novel karyanya. “Ini merupakan keberanian dari sutradara untuk menampilkan adegan tersebut. Juga satu hal lagi, kok tentara mengizinkan film ini beredar, jadi kemajuan pula yang dilakukan tentara karena membiarkan film ini lolos ke masyarakat,” kata dia.

Secara keseluruhan, film ini menjadi sebuah kisah percintaan yang dikerjakan dengan kerja keras oleh semua orang terlibat di dalamnya. begitu tinggi terhadap film ini. Ahmad Tohari memberikan pujian tinggi bagi Shanty Harmayn, Ifa Isfansyah, Salman Aristo dan semua yang terlibat di dalamnya dalam menghidupkan novel miliknya ke bahasa audio-visual serta menyampaikan pesan yang tersirat dalam novelnya.

Komentar

Postingan Populer