Jejak Langkah, Seri Ketiga Dari Tetralogi Buru Karya Pramoedya Ananta Toer

Realisme sosialis merupakan aliran besar karya sastra yang melandaskan diri pada falsafah materialisme dialektis dan materialisme historis ketika melihat realitas. Kedua hal ini sangat jelas tergambar secara simbolik dalam pernyataan Minke maupun konflik-konflik yang tergambar dalam hampir keseluruhan bagian novel Jejak Langkah.

Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya: (1) perkembangan sejarah pada awal abad XX yang ditunjukkan novel Jejak Langkah, (2) menunjukkan berbagai proses pertentangan, tesa, dan anti tesa. Perbenturan nilai antara tradisionalisme (tesa) dengan modernisme (anti tesa). Antara masyarakat pribumi (tesa) dengan kekuatan kolonialisme (anti tesa), antara buruh pribumi dan majikan kolonial dan sebagainya.

Generasi yang dimatangkan oleh proses dialektika itu adalah Minke salah satunya. Karena Minke merupakan salah satu seorang tokoh sentral dalam novel itu, hidup pada masa dimana pertentangan-pertentangan ini kian menjadi matang. Proses dimana ketegangan antar satu kutub nilai dan kepentingan dengan nilai dan kepentingan yang lain sedang mencapai puncaknya. Deskripsi berikut ini akan menggambarkan proses dialektika terjadi dalam perjalan sejarah, baik dialami individu maupun secara kolektif, digambarkan Pramoedya Ananta Toer dalam Jejak Langkah. Novel ini dirancang sedemikian rupa oleh Pramoedya Ananta Toer untuk menunjukkan bagaimana proses sejarah yang selalu bergerak sesuai hukum materialisme dialektis. 

Di awal novel Jejak Langkah sudah ditemukan proses dialektika, yakni dialektika antara modernitas dan tradisi feodalistik. Tradisi feodalistik telah mencengkeram bangsa berabad-abad, memandang sejarah serba harmonis, metafisik, fatalistik dan bahkan irrasional. Sementara di sisi lain, kolonialisme yang berdampak pada modernisasi dan modernitas di satu sisi, mengagungkan individualisme dan kemenangan logika kapitalisme. Pramoedya Ananta Toer melihat bahwa dalam alam sadar masyarakat pribumi yang masih feodal sejarah, penuh mitos, dan pandangan-pandangan irasional yang kadangkala sangat menjebak. Akhirnya yang terjadi adalah sejarah dipandang sebagai sesuatu yang instan.


Ringkasan Cerita

Kisah perjuangan seorang Minke dalam novel Jejak Langkah sebagai aktivis dalam hal tulis menulis untuk melawan penjajahan kolonial sangat kental ditayangkan Pramoedya. Novel Jejak Langkah ini merupakan kelanjutan dari cerita sebelumnya, yaitu pada novel Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Cerita Minke pada novel ini diawali dengan kedatangannya ke Betawi pada awal abad ke-20 untuk melanjutkan sekolahnya di sekolah Kedokteran Hindia, STOVIA (bahasa Belandanya School tot Opleiding van Indische Artsen). 

Sebagai pendatang baru di Betawi tentu semua yang ia saksikan pertama kali di Betawi sangat menakjubkan bila dibandingkan dengan kota Surabaya. Minke menggambarkan Kota Betawi sebagai kota yang dihiasi gedung bertingkat dengan kereta api canggih serta segala pemandangan tentang Ancol dan Kali Ciliwung.

Hari pertama kedatangan Minke ke Betawi sudah dihadiahi pengalaman yang sangat berarti dalam hidupnya. Baru beberapa jam datang ke sekolahnya STOVIA dia telah diundang oleh kawan lamanya seorang wartawan De Locomotief bernama Ter Haar untuk menghadiri undangan dari anggota Tweede Kamer. Tentu undangan ini tidak untuk sembarang orang. Atas dasar itu pula kepala sekolah mengizinkan Minke untuk menghadiri pertemuan tersebut.

Sebagai satu-satunya pribumi yang menghadiri pertemuan itu, Minke merasa bagaikan ‘monyet’ salah kandang. Namun, di akhir pertemuan itu Minke mendapat kesempatan untuk bertanya kepada pembesar yang hadir yang dalam hal ini adalah Generel van Heutsz and Ir. Van Kollewijn. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Minke untuk melontarkan kritik pedasnya. 

Ketika diskusi menyangkut kerja bebas Minke bertanya “…tentang kerja bebas itu, Yang terhormat Anggota Tweede Kamer, apa juga berarti bebas mengucil dan mengusir petani yang tak mau menyewakan tanahnya pada pabrik Gula?”. Pertanyaan ditujukan kepada anggota dewan Tweede Kamer yang hadir khususnya Ir. Van Kollewijn. Tentu saja hal ini membuat berang yang ditanya yang menjadikan pertemuan itu menjadi memanas. Itulah Minke, yang selalu mampu menarik perhatian para penjajah kolonial.

Pada akhirnya Minke dipecat dari STOVIA dan semua itu merupakan titik balik dari perjuangan Minke untuk berubah menjadi manusia bebas. Baginya pemecatan itu merupakan  rahmat dan pintu pembebasan dari belenggu-belenggu aturan yang mengikat jiwa bebasnya. Terinspirasi oleh mantan istrinya Mei, Ter Haar, dan Dokter Jawa yang pernah memberikan ceramah di sekolahnya dulu, ia mulai memberanikan diri untuk berorganisasi. Kata-kata Ter Haar membahana di ruang kepalanya “perjuangan di zaman modern membutuhkan cara-cara yang modern pula: berorganisasi”. 

Setelah pemecatan itu, dia mengumpulkan kawan-kawannya dari STOVIA dengan bekerja keras untuk membicarakan hal ini, tetapi usaha tersebut gagal. Dan sebagai timbal baliknya para siswa STOVIA tidak peduli dengan organisasi yang diusulkan Minke. Mereka lebih memilih untuk mementingkan sekolah dan mempersiapkan diri sebagai dokter gobermen yang harus tunduk pada kolonialisme yang bercokol. Minke pun kemudian berkelana mencari dukungan untuk membuat sebuah organisasi. 

Dia datang lagi kepada Bupati Serang yang juga ternyata menolaknya sebagaimana dia pernah menolak dokter jawa beberapa tahun sebelumnya. Syukurlah kemudian ia bertemu dengan Wedana Mangga Besar Thamrin Mohammad Thabrie dan Patih Meester Cornelis yang menyambut baik idenya untuk mendirikan sebuah organisasi pribumi. Maka dibentuklah Syarikat Prijaji. Tidak lama kemudian Minke mendirikan majalah mingguan Medan. Namun, sayang karena persoalan ideologi ‘prijaji’ yang tidak mengakomodir semua pribumi, organisasi Syarikat Prijaji tidak berkembang dengan baik.

Namun, Minke tidak pernah mengenal putus asa untuk mendirikan organisasi yang mampu menghimpun semua kepentingan pribumi dari berbagai kalangan. Akhirnya tidak lama kemudian berdiri pula Syarikat Dagang Islamiyah. Betul juga, organisasi ini berkembang dengan pesat bahkan hingga keluar Pulau Jawa, walaupun pada akhirnya harus terpecah dua karena berbagai kepentingan internal organisasi tersebut.

Dengan perkembangan yang sangat pesat dari Minke, maka Medan yang merasa tersisihkan,memberikan ancaman pembunuhan kepada Minke yang selalu selamat dari ancaman-ancaman tersebut. Untuk pengurusan Medan,  Minke dibantu oleh orang-orang kepercayaannya, yaitu Marako, Sandiman, dan Hendrik. Kesimpulannya, novel Jejak Langkah ini telah dikarang dengan bagus oleh Pramoedya Ananta Toer untuk menggambarkan bagaimana perjuangan Minke melaui organisasi dan surat kabar dalam menumbuhkan semangat dan benih nasionalisme di kalangan pribumi. 

Minke mampu membentuk dan membangun opini publik akan kejahatan kolonial yang harus dilawan dan diperangi. Disini juga jelas sekali bagaimana dunia jurnalistik telah berperan secara signifikan terhadap kebangkitan bangsa dan rasa kebangsaan (nationhood) sehingga akan menjadi cikal bakal sebuah negara kesatuan yang bernama Indonesia.


Tanggapan Pembacaan

Menurut para pembaca novel Jejak Langkah karya dari Pramoedya Ananta Toer, buku ketiga Roman Tetralogi Buru ini masih tetap mengambil latar belakang dan cikal bakal nation Indonesia di awal abad ke-20. Minke sang tokoh utama disini memutuskan untuk terjun ke dunia organisasi. Niat untuk mengembangkan kaun pribumi memang pantas dipuji. Di dalam novel ini tampak kegalauan hati Minke ketika mendirikan organisasi. Latar belakang organisasi menjadi alasan utama yang harus benar-benar biperhatikan Minke. Melalui tulisan Minke mampu membuat sebuah perubahan. Bahkan pihak colonial mampu dibuat khawatir dengan tulisan- tulisannya.

Alur novel ini masih terkesan lambat. Namun, hal ini tidak mengurangi keindahan cerita yang ada. Pram mampu membuat pembaca penasaran sehingga tidak sabar untuk membacanya dengan tuntas. Kesan sejarah pun mampu diangkat dengan baik oleh Pram sehingga pembaca menjadi mampu menghayati cerita sesuai dengan latar yang diangkat.

Komentar

Postingan Populer