Ekranisasi dari Novel Telegram Karya Putu Wijaya

Novel Telegram merupakan salah satu novel karya Putu Wijaya yang diterbitkan Pustaka Jaya tahun 1973. Novel ini mendapat hadiah pertama dalam sayembara menulis roman yang diselenggarakan oleh Panitia Tahun Buku tahun 1972. Novel yang digembar-gemborkan sebagai tonggak fiksi Indonesia dan sebagai trendsetter dalam sintetis dan fantasi ini memberikan wawasan ke dalam strategi yang layak diakui penulis menciptakan “teror mental”. Novel pertama karya Putu Wijaya itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Stephen J. Epstein yang diterbitkan tahun 2011. Novel Telegram juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis oleh Henry Chambert Loir.

Putu Wijaya terkenal sebagai penulis yang sering mengajukan problem-problem psikologis dalam novelnya. Dalam novel Telegram misalnya, sang tokoh utama, Daku, mengalami pergulatan-pergulatan dengan pikirannya sendiri. Dimulai dari pikirannya menerima telegram dari Bali yang memberitakan ibunya meninggal, hingga persoalan-persoalan yang sebenarnya diciptakan dari khayalan tokoh Daku itu sendiri. Seperti hubungannya dengan perempuan pelacur yang bernama Nurma, konflik dengan ibu kandung dari anak angkatnya yang bernama Shinta, serta berakhirnya hubungan cinta kasih dengan kekasih khayalannya Rosa. Dalam novel ini, Putu Wijaya mengungkapkan hal yang berkaitan dengan aliran kesadaran yang tidak merata dan bersifat acak. Di sini juga Putu Wijaya melakukan pengaliran kesadaran (pikiran-pikiran) dalam diri manusia. Keliaran pikiran inilah yang coba dilunakkan oleh Putu Wijaya lewat medium bahasa dalam sastra.


Ekranisasi Novel

Novel dan sastra saling berhubungan erat dan ditegaskan dengan banyaknya novel yang bertransformasi menjadi film. Pemilihan novel Telegram sebagai basis penciptaan sebuah film mengandung resiko yang amat besar, cerita di dalam novel Telegram sendiri relatif rumit dan banyak berkenaan dengan pikiran (psikologi). Saat novel ditransformasikan menjadi film, skenario mengalami perubahan. Unsur intrinsik di dalam novel Telegram mengalami perubahan pada bagian alur, tokoh, dan latar. Akan tetapi, perubahan-perubahan tersebut tidak membuat inti cerita Telegram berubah, karena transformasi yang terjadi dalam skenario tetap berpijak pada novel Telegram.

Skenario film Telegram ditulis sendiri oleh Putu Wijaya dan disutradarai oleh Slamet Rahardjo Djarot. Juru bicara film ini menyatakan bahwa Telegram adalah film yang ingin mengungkap kehidupan khayal Daku (tokoh utama) di mana Rosa, perempuan yang menjadi kekasih khayalannya itu amat mencintainya. Namun keindahan dunia khayal yang dimilikinya selalu pudar.

Film tersebut akan membedakan 2 plot sang tokoh, yakni plot yang benar-benar terjadi dan plot yang berisi kehidupan khayal sang tokoh. Di dalam menggarap film ini Slamet Rahardjo Djarot dan Putu Wijaya memilih pendekatan linear dalam memberikan plot naratif film. Mereka menyusun peristiwa demi peristiwa secara lurus (plot maju) di dalam film. Film ini juga tidak berusaha membedakan apa yang menjadi kenyataan dan apa yang menjadi pikiran dalam novel. Seluruh peristiwa dibawa sebagai kenyataan sesungguhnya. 

Film Telegram garapan Putu Wijaya dan Slamet Rahardjo Djarot  merupakan produksi bersama Indonesia dan Perancis. Dirilis tahun 2002, film ini memenangkan penghargaan di Festival Film Asia Pasifik ke-46 untuk kategori aktris terbaik Ayu Azhari. Dalam film tersebut, Ayu bukan berperan sebagai manusia, melainkan arwah penasaran seorang perempuan bernama Rosa yang semasa hidupnya berprofesi sebagai watunas jalanan. Dirinya seolah ada namun tiada, sosoknya tidak bisa dilihat, suaranya tidak bisa didengar. Konon Rosa adalah sosok impian dari seorang wartawan asal Bali yang tinggal di Jakarta, tokoh wartawan diperankan oleh Sudjiwo Tedjo. Banyak orang yang kurang mengerti dengan film yang diadopsi dari novel Putu Wijaya ini, tapi dengan arahan Slamet, film ini bisa tercipta dengan baik.


Proses Ekranisasi Dari Sudut Dunia Film

Ketika sebuah karya sastra diangkat ke layar putih, banyak persoalan yang muncul. Mengemas sebuah novel yang tebal ke dalam film berdurasi 110 menit memang tidak mudah. Terlebih jika para pembaca novel tidak menyadari bahwa film yang diangkat berdasarkan novel adalah sebuah kesenian visual yang berbeda dengan kesenian dalam tulisan.

Novel yang ditulis Putu saat berusia 28 tahun ini disebut para pengamat sastra sebagai novel pertama di Indonesia yang menggunakan teknik stream of consciousness. Kisahnya dibangun dengan cara penuturan “monologue intereur”, yaitu percakapan diri sendiri.

Kritikus sastra Umar Junus menulis sebuah ulasan tentang novel Telegram ini di majalah Budaya Jawa tahun 1974. Dalam ulasannya ia membedah setiap bab dari novel ini, kesimpulannya bahwa Shinta, anak dari tokoh Daku, sesungguhnya hanya khayalan. Pernyataan tersebut diperkuat dengan analisisnya yang menyatakan bahwa ketika tokoh Daku berbicara dengan Shinta, kadang ia merasa dirinya adalah Rosa, Nurma, atau orang lain.

Dalam visualisasi filmnya tidak ditampilkan stream of consciousness seperti gaya di dalam novelnya. Bahasa sinematografi berbeda dengan bahasa novel. Mengangkat dunia kata-kata menjadi dunia gambar banyak mengalami penciutan dan penambahan, sehingga dibutuhkan kompromi antara bahasa sastra dan bahasa film.

Di dalam pembuatan film tersebut tidak melalui jalan yang mudah. Pembuatan skenarionya harus melewati perjalanan panjang, dan tentunya banyak hal menarik di dalam proses pembuatan skenarionya. Awalnya, Slamet meminta Putu untuk menulis skenario berdasarkan novel ciptaannya, kemudian Slamet membuat shooting script dari skenario tersebut. Ternyata shooting script yang dibuat Slamet amat berbeda dengan skenario Putu. Semula, Putu enggan menengok, tapi setelah membaca shooting script tersebut Putu tidak keberatan dengan perubahan besar itu, menurutnya hal tersebut sah saja karena novel Telegram bisa ditafsir dari berbagai sudut pandang.

Slamet menganggap skenario yang dibuat Putu masih menekankan aspek yang kental dengan sastra dan kurang bahasa visual, maka dari itu Slamet membuat shooting script yang memberi penjelasan visual kepada setiap gejolak tokoh Daku. Dalam skenarionya, Slamet merencanakan membuka adegan film ini dengan adegan kematian ayah Daku, yang sebenarnya tidak muncul dalam novel. Semula Slamet merencanakan akan menayangkan ingatan Daku atas prosesi penguburan di Bali. Dengan dimulai prosesi sembahyang keluarga, dimana jenazah sang ayah dibaringkan dengan kedua mata yang diletakkan pecahan cermin, hidungnya disumpal gulungan sirih, bibirnya ditaruh kepeng (uang logam khusus untuk upacara di Bali), dan alisnya dihiasi daun untaran. Kemudian disusul kejadian ibu yang marah-marah kepada laki-laki yang menjual tanah keluarga.

Inilah cuplikan adegan yang dibuat oleh Slamet: sang kakak laki-laki berdiri di samping seorang berdasi merencanakan pembangunan hotel mewah, sang kakak laki-laki memanipulasi tari sakral sang ibu untuk turis, dan sang kakak laki-laki berjudi. Lalu, ada adegan Daku siap pergi dari rumah dengan koper berdiri tegak karena persoalan harta warisan. Di belakang, ibunya menangis sambil dikerumuni bibi-bibinya. Kemudian disusul adegan sang Daku menolak berkonflik soal warisan dengan kakak laki-lakinya.

Secara visual penonton digiring untuk segera memahami mengapa Daku bimbang untuk segera membuka telegram. Tekanan Telegram versi Slamet lebih pada keterombang-ambingan pemberontakan Daku terhadap tradisi yang terasa mengikatnya. Shooting script itu banyak memberikan peluang estetik untuk mengeksplorasi tradisi Bali yang memudar. Tapi, pada akhirnya Slamet kembali pada skenario Putu. Slamet merasa interpretasinya terlalu jauh. Putu sangat menghargai ketika mendengar keputusan dari Slamet ini. 

Meskipun Slamet memutuskan untuk menggunakan skenario Putu, tetap saja ada beberapa sekuen yang “dijinakkan” Slamet. Adegan telanjang bulat tokoh Daku. Slamet mengubah adegan tersebut menjadi sedikit imajinatif, kalau mengikuti keliaran imajinasi Putu, pasti film tersebut tidak akan diizinkan tayang di Indonesia. Ada dua adegan telanjang tokoh Daku dalam skenario Putu yang tidak bisa divisualisasikan Slamet. Pertama, Daku bugil sambil memandang sebuah potret model di dinding, dan tak malu-malu melakukan onani. Adegan telanjang bulat yang kedua adalah ketika tokoh Daku bersama sahabatnya, Nugraha, di tengah hujan mendorong mobil mogok. Adegan ini disusul sebuah mimpi buruk ketika Daku tiba di rumah masih dalam keadaan telanjang yang disambut ibunya, kemudian mereka bersenggama.

Bagi Slamet kedua adegan tersebut merupakan sesuatu yang fisikal. Awalnya Slamet merekam adegan mansturbasi tersebut dengan shoot dari kejauhan, adegan ini ditambahkan dengan adegan tokoh Daku yang merangkak di meja setelah mansturbasi. Setelah scening pertama di Paris, adegan tersebut mendapat kritikan dari orang-orang yang menyaksikannya, mereka yang melihatnya menyimpulkan adegan tersebut tokohnya seperti binatang melata, sehingga mereka yang melihat merasa jijik. Karena hal tersebut, Slamet menggantinya dengan adegan Daku menyelinap di ketiak ibunya dengan payudara yang menjuntai. 

Putu juga mencoba menampilkan visualisasi yang agak spiritual dengan sosok Rosa. Dalam skenario Putu, Nugraha mengajak Daku untuk tidur dengan Nurma, tapi Daku menolak karena Rosa dalam khayalannya memberontak. Setelah persetubuhan yang ke-3000 kali, akhirnya mereka memutuskan berpisah. Dalam keadaan telanjang, Rosa dan Daku merayakan perpisahannya dengan bersimpuh dan berdoa.

Sebuah ironi, ketika Rosa, sosok imajinatifnya, menolak Daku, ia merasa makin terbuang. Bagi Putu, rasa pedih dan perih akibat ditolak oleh imajinasinya sendiri adalah energi dari Telegram. Sosok Rosa yang sebenarnya hanya tokoh khayalan itu memang kurang terasa bagi penonton yang tidak membaca novelnya. Terasa begitu sulit untuk memahami bahwa Rosa adalah semata-mata wanita dalam angan-angan.

Komentar

Postingan Populer