Buah Tangan Wildan Yatim: Novel Pergolakan

Membahasa tentang "Islam Di Atas ‘Pergolakan’"  maka kita diajak juga untuk secara tidak langsung mengingat sebuah novel buah tangan Wildan Yatim yang berjudul Pergolakan. Novel ini menceritakan tentang kegelisahan penduduk desa Gunung Beringin, akibat pergolakan antara para ulama ortodoks yang masih mengangkat bau mistis dan adat dengan seorang guru sekolah dasar yang ingin mengembalikan ajaran Islam yang murni.

Sebenarnya konflik yang diangkat dalam novel ini adalah konflik yang klasik dan universal, yakni antara kegiatan agama yang “murni” dan kegiatan agama yang  sudah dikotori kepercayaan dan adat suatu daerah “Islam Tuah”, yaitu pihak kolot. Oleh Wildan, konflik tersebut ia gambarkan sebagai tekanan dan teror pada satu pihak saja, yaitu pada pihak kolot.

Novel Atheis, karya Achdiat K. Mihardja, juga mengangkat latar belakang yang hampir mirip dengan novel Pergolakan karya Wildan Yatim. Atheis juga membawa konflik antara paham-paham yang lama dengan paham-paham yang baru. Namun di novel ini, lebih menonjolkan pada konflik terjadi di bidang sosial, budaya, dan politik sedangkan di novel Pergolakan hanya mengangkat konflik pada bidang agama saja. Pengaruh atau efek dari konflik tersebut antara Atheis dan Pergolakan juga berbeda. Dalam Atheis, efek yang ditimbulkan oleh konflik tersebut adalah tekanan batin yang membuat tokoh menjadi selalu resah. Sedangkan di novel Pergolakan, yang ada hanya pergolakan dalam masyarakat sehubungan dengan masuknya gagasan baru ke suatu system yang sudah lama diyakininya.

Novel yang dilahirkan oleh Wildan ini pernah mendapatkan hadiah ketiga Sayembara mengarang roman yang diselenggarakan Panitia Tahun Buku Internasional, DKI Jakarta, 1992. Pada tahun 1975, novel Pergolakan meraih hadiah Yayasan Buku Utama Depdikbud. Novel Pergolakan mendapat penghargaan seperti itu, karena novel ini berbeda dengan novel lainnya. Novel ini juga mempunyai kelebihan yang mungkin jarang dimiliki novel-novel lain pada tahun itu. Novel ini menyodorkan persoalan yang sangat kompleks, trauma akibat PRRI/Permesta, serta tokoh utama novel ini yaitu Guru Salam, yang ingin mengembalikan ajaran islam yang murni  tanpa campuran bau mistis dan adat. Dan pada saat itu, ia harus berhadapan dengan para tokoh ulama ortodokos yang berusaha mempertahankan kemapanannya dengan berlindung dibalik nama agama. Novel inilah yang membuatnya menjadi sastrawan penting.


Ringkasan Cerita

Kedatangan Guru Abdul Salam dari daerah Tanjung ke desa Gunung Beringin disambut masyarakat dengan senang hati. Khotbah Jumat yang sebelumnya menggunakan bahasa Arab dan sering tidak dimengerti oleh jemaah, sejak kedatangan Guru Salam disampaikan dalam bahasa sendiri. Guru Salam banyak berkorban demi kemajuan desa. Keinginan memajukan desa ini terbukti dengan didirikannya Surau untuk sekolah anak-anak dan tempat pengajian. 

Guru Salam juga merencanakan untuk membuat jalan yang dapat menghubungkan daerah Tanjung dengan Gunung Beringin. Sedikit demi sedikit pengetahuan masyarakat bertambah.  Namun dibalik keberhasilan itu ada beberapa orang yang tidak senang akan kehadiran Guru Salam. Diantaranya H. Saleh, Mak Haji, khotib Sutan Parlindungan, dan lainnya.

Ketidak senangan tersebut dinyatakan dengan usaha seseorang atas suruhan Mak Haji, memberi racun pada makanan yang disediakan bagi Guru Salam. Kemudian karena tidak berhasil memperdayakan Guru Salam, para pembencinya yang iri lalu membakar surau.

Terbakarnya surau baru itu membuat masyarakat sangat kecewa. Atas sepakat Malin Momet, orang yang dekat dengan Guru Salam, serta Guru Salam sendiri direncanakanlah kepindahan ke tempat yang baru. Delapan puluh kepala keluarga menyetujui ide yang bagus itu. Mereka pun pindah. Selama satu bulan kesibukan perpindahan berlangsung. Desa baru yang mereka huni itu mereka namakan Tanjung Laut (Mandailing). Letaknya tidak begitu jauh dari Gunung Beringin dan tempat tinggal Guru Salam.

Beberapa lama kemudian ada kabar angin, bahwa akan datang ke Tanjung serombongan pasukan KKO. Semua orang tidak boleh keluar. Termasuk Guru Salam. Meskipun ia mengajar di Tanjung Laut, Khahairuddin yang tidak menepati larang itu mati tertembak.

Setelah pemberontakan itu berakhir datanglah Palu Arit yang banyak melibatkan orang-orang Tanung. Nurdin, kepala daerah, Baqir dan kawan-kawannya ikut pula terlibat. Yang membangkang terhadap Palu Arit bakal ditahan. Guru Salam pun termasuk orang yang ditahan di kantor daerah. Mendengar Guru Salam ditahan, Malin Momet memimpin serbuan ke kantor daerah, untuk membebaskan Guru Salam. Dan berhasil.

Sekeluarnya Guru Salam dari tahanan, mereka menyusun rencana untuk menangkap Nurdin dan kawan-kawan. Mereka berhasil dibinasakan. Kepala daerah lalu dipegang oleh Moh. Ja’far. Kerusuhan semacam ini juga terjadi di Jakarta, yang mengakibatkan terbunuhnya para Jendral.

Tujuh tahun berlalu, dan berakhirlah pemberontakan Palu Arit. Penduduk mulai berhuma dan bersawah kembali. Kabar tentang meninggalnya Haji Saleh yang diterkam harimau membuat penduduk berbondong-bondong ke Gunung Beringin untuk melayat. Bertepatan dengan hari duka cita itu, disusunlah rencana untuk menggarap sawah bersama-sama secara gotong royong. Maka penduduk Gunung Beringin pun terbentuk kembali. 


Pendapat Ahli

“Gayanya lebih bersifat deskripsi ketimbang erokasi, dan hal ini menampak juga dari kekayaannya dalam kosa kata ketimbang daya kreasi yang terungkap. Bagi para pembaca yang hanya paham terhadap bahasa Indonesia kewartawanan dan kantoran dari Jawa, bahasa Indonesia Wildan Yatim mungkin penuh dengan perbendaharaan kata yang aneh: bahasa Melayu Minangkabau sebelum perang masih tetap segar bugar di dalam karyanya itu”, inilah yang dikatakan A. Teeuw pada novel buah tangan Wildan Yatim.

Pendapat Teeuw itu tentu saja tidak mesti secara serta-merta kita terima begitu saja. Sebab, jika karya-karya Wildan Yatim ini ditempatkan di dalam konteks warna lokal, maka justru dalam hal warna lokal itulah karya-karya Wildan Yatim menjadi sangat menonjol dan menempati kedudukannya yang khas. Bagaimanapun juga, dapat dipastikan bahwa sebagian besar sastrawan Indonesia dilahirkan dan dibesarkan di dalam lingkungan kultur etnik. Oleh karena itu, latar belakang kultural ini yang sebenarnya menjadi salah satu ciri khas khazanah sastra Indonesia.

Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di Sumatera dengan lingkungan kulturalnya yang didominasi suku Batak dan Minangkabau, tentu saja Wildan Yatim merasa lebih dekat dengan kultur itu dibandingkan dengan kultur Sunda atau Jawa. Oleh karena itu, jika karya-karya Wildan Yatim terasa begitu kuat mengangkat warna lokal Minangkabau dengan kosa kata Melayunya yang juga khas Minangkabau, justru dalam hal itulah karya-karya Wildan Yatim memperlihatkan kekuatannya.

Sayangnya, Wildan Yatim yang menulis disertasi doktornya berjudul “Efek Antifertilitas Gosipol dan Gula Berklor terhadap Tikus Wistar dan Implikasi Prospeknya sebagai Kontraseptif Pria” sampai kini belum juga memanfaatkan kepakarannya di biologi untuk kepentingan sastra. Jika saja, suatu saat ia menulis sebuah novel yang sarat dengan deskripsi biologis, sangat mungkin karyanya itu bakal menjadi science fiction yang mungkin juga bakal lebih dahsyat dari novel science fiction lainnya

Komentar

Postingan Populer