Anak Bajang Menggiring Angin Karya Novelis Sindhunata

Buku Anak Bajang Menggiring Angin merupakan sebuah novel fantasi pewayangan berbahasa Indonesia karya Sindhunata yang diterbitkan tahun 1983 oleh Gramedia Jakarta. Buku ini merupakan penyempurnaan dari "Kakawin Ramayana" dari versi pewayangan Jawa Versi modern yang ditulis oleh Sindhunata dan dimuat di harian KOMPAS setiap hari Minggu di tahun 1981. Walaupun Sindhunata menulis buku ini dengan sumber dari kisah Ramayana yang populer di masyarakat budaya Jawa, kisah ini dapat dibilang baru karena yang digambarkan dalam buku ini adalah harapan-harapan dan kerinduan dari Sindhunata sendiri, yang diwarnai dan dilatarbelakangi kebudayaan Jawa di mana budaya wayang sangat berperan kuat dalam filsafat kehidupan sehari-hari. Sindhunata menggunakan tokoh-tokoh wayang "Ramayana" yang imajinatif  tersebut untuk membantu menuangkan maksudnya tersebut. Sindhunata menulis buku ini untuk menggugah dan membuat pembacanya berpikir tentang harga dan nilai sebuah cita-cita, di mana dia menampilkan sebuah kisah tentang impian yang seakan-akan tampil sebagai cita-cita dan sebaliknya. Bagi sebagian pengamat sastra, kisah buku ini adalah sebuah representasi perlawanan yang lemah dan tak berdaya menghadapi absurditas nasib dan kekuasaan. 


Ringkasan Cerita

Prabu Danaraja, Raja Negeri Lokapala, merindukan Dewi Sukesi. Mengetahui perasaan anaknya, Begawan Wisrawa pun ingin mewujudkan keinginan anaknya. Ia menemui Sumali, Raja Alengka sekaligus sahabatnya, untuk mengutarakan niat anaknya. Wisrawa pun tahu bahwa Dewi Sukesi menghendaki suami yang mampu mengupas Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Walaupun merasa berat, Wisrawa pun bersedia melakukannya. Akan tetapi, ketika Dewi Sukesi dan Wisrawa hampir menghayati Sastra Jendra, Batara Guru dan Dewi Uma menggagalkan usaha mereka sehingga Sukesi pun mengandung anak Wisrawa. Setelah mengetahui pengkhianatan ayahnya, Danareja mengusir Dewi Sukesi dan Wisrawa dari Kerajaan Lokapala. Di tengah hutan, Dewi Sukesi melahirkan darah, telinga, dan kuku manusia. Darah tumbuh menjadi manusia  bermuka sepuluh yang diberi nama Rahwana, telinga tumbuh menjadi raksasa sebesar Gunung Anakan yang diberi nama Kumbakarna, dan kuku tumbuh menjadi raksasa wanita tidak sedap baunya yang diberi nama Sarpakenaka. Anak-anak tersebut merupakan wujud dosa-dosa mereka. Kemudian, mereka pun kembali ke Alengka dan melahirkan seorang manusia sempurna yang lahir dari cinta sejati keduanya. Anak tersebut diberi nama Gunawan Wibisana.

Di suatu tempat, Resi Gotama mengutuk Dewi Windrada, istrinya, karena ia diam saja ketika ditanya asal usul Cupu Manik Astagima yang diperebutkan oleh anak-anaknya. Setelah dikutuk menjadi batu tugu, batu tugu tersebut kemudian dilemparkan Gotama hingga jatuh di Alengka, sedangkan Cupu Manik Astagina dilemparkannya ke udara. Tutup cupu jatuh di Ayodya menjadi Telaga Nirmala, sedangkan cupu yang berisi air kehidupan jatuh di tengah hutan menjadi Telaga Sumala. Ketiga anaknya, yaitu Guwarsa, Guwarsi, dan Anjani mengejar cupu tersebut ke Telaga Sumala sehingga ketiganya berubah wujud menjadi kera. Guwarsa dan Guwarsi berubah nama menjadi Sugriwa dan Subali. Kemudian, ketiganya bertapa berat untuk membersihkan dosanya. Betara Guru pun tergerak oleh tapa berat Anjani, ia mengabulkan tapanya. Anjani pun melahirkan seekor kera putih yang diberi nama Anoman. Setelah selesai tapa, Subali bertemu kembali dengan Sugriwa. Mereka mendapat tugas untuk membunuh Maesasura dengan Dewi Tara sebagai imbalannya. Subali yang memiliki Aji Pancasona, ilmu yang membuatnya hidup kembali setelah menyentuh bumi, masuk ke gua Kiskenda untuk membunuh Maesasura, sedangkan Sugriwa menunggu di depan gua. Sesuai dengan kesepakatan mereka, Sugriwa menutup pintu gua setelah melihat darah putih dan darah merah mengalir karena mengira darah putih itu menandakan kematian Subali. Subali yang masih hidup mengira Sugriwa mengkhianatinya karena menginginkan Dewi Tara. Dengan marahnya, ia pun merebut Dewi Tara dan mengusir Sugriwa dari Kiskenda. 

Alkisah Raja Dasarata, Raja Ayodya, melakukan upacara persembahan agar memiliki keturunan. Kemudian, Dewi Sukasalya melahirkan titisan Wisnu yang diberi nama Ramawijaya, Dewi Kekayi melahirkan anak yang diberi nama Barata, dan Dewi Sumitra melahirkan anak kembar yang diberi nama Laksmana dan Satrugna. Begawan Yogiswara mengajak Rama membunuh raksasa pengacau, Katakalya. Laksmana dan Rama pun berhasil membunuhnya sehingga Kala Marica dendam kepada keduanya. Begawan Yogiswara pun menyuruh Rama mengikuti sayembara mendapatkan Dewi Sinta di Mantili. Rama pun berhasil memenangkan sayembara tersebut.

Raja Dasarata kemudian berniat mengangkat Rama menjadi Raja Ayodya. Hal ini disambut gembira oleh semua orang di Ayodya, kecuali Kekayi. Dewi Kekayi datang menagih sumpah Dasarata untuk mengabulkan permintaannya. Ia pun meminta agar Barata diangkat menjadi raja dan Rama diasingkan ke hutan selama tiga belas tahun. Raja Dasarata sangat bingung untuk memilih antara rasa sayangnya terhadap Rama dan janjinya terhadap Kekayi. Rama kemudian pergi ke hutan diikuti Dewi Sinta dan Laksmana untuk menepati janji ayahnya. Karena kesedihannya, Raja Dasarata pun meninggal dunia. Barata yang mengetahui niat jahat ibunya segera menyusul Rama ke hutan untuk membujuknya kembali, tetapi ia tidak berhasil. Barata pun memutuskan untuk memerintah Ayodya sebagai perwakilan Rama hingga Rama kembali ke Ayodya. 

Di hutan, mereka bertemu Sarpakenaka yang tergoda terhadap Rama dan Laksmana. Akan tetapi, karena sakit hati ditolak keduanya, Sarpakenaka mengadu pada suaminya untuk membalaskan dendamnya. Akan tetapi, kesaktian kedua suami dan tentaranya tidak sebanding dengan kesaktian Rama dan Laksmana sehingga semua raksasa tersebut mati. Sarpakenaka pun kemudian datang ke Alengka mengadu pada Rahwana. Ia menceritakan dendamnya dan kecantikan Sinta untuk menarik hati Rahwana. Sinta yang melihat kijang kencana jadi-jadian Kala Marica meminta Rama mengambilkannya. Setelah kepergian Rama mengejar Kijang kencana, Laksmana dan Sinta mendengar suara Rama menjeri minta tolong sehingga Sinta mendesak Laksmana untuk menolongnya. Setelah Sinta sendirian, Rahwana pun leluasa menculik Sinta.

Rama dan Laksmana kemudian berniat untuk merebut Dewi Sinta dari tangan Rahwana. Dari Jatayu, mereka pun tahu harus menyusul Rahwana ke Alengka. Setelah bertemu Sugriwa, Rama pun membantu Sugriwa untuk merebut Dewi Tara dari tangan Subali. Rama memanah Subali hingga tewas. Setelah sekian lama, Sugriwa dan pasukannya muncul menemui Rama untuk menemukan Alengka. Di tengah pertemuan, datanglah Anoman yang mengaku sebagai anak Retna Anjani, adik Sugriwa. Rama pun mengutus Anoman untuk menemukan Alengka. Ia memberikan cincin yang akan bersinar jika Sinta masih suci. 

Rahwana yang bingung menghadapi kekeraskepalaan Sinta diingatkan Wibisana untuk berhenti merebut kekasih orang lain, tetapi Rahwana justru marah. Ia memukulkan gadanya ke tubuh Wibisana. Wilkataksini pun membuang tubuh Wibisana ke samudra. Kumbakarna yang mengetahui hal itu menjadi marah terhadap Rahwana. Kumbakarna mengamuk dan ia pun berkelahi dengan Rahwana, tetapi dilerai oleh paman mereka, Prahasta. Rahwana datang ke Taman Argasoka menemui Dewi Sinta yang ditemani Dewi Trijata. Ia memaksa Dewi Sinta melayaninya, tetapi Dewi Sinta mengancam untuk bunuh diri jika Rahwana mencoba menjamahnya. 

Anoman pun berhasil menemui Dewi Sinta dan menyerahkan cincin dari Rama kepadanya. Sinta pun menangis mendengar pesan Rama yang meragukan kesuciannya. Sinta kemudian menitipkan kalung bermata api yang apinya akan padam di tangan Rama jika Rama sudah tidak mencintainya. Anoman pun merusak Taman Argasoka sehingga Anoman pun ditangkap dan dibakar hidup-hidup. Akan tetapi,  Anoman dapat melepaskan diri dari kepungan api, ia pun lalu menyulut rumah-rumah dan istana di Alengka kemudian pergi menuju Maliawan. Di jalan, ia bertemu dengan Wibisana yang ternyata belum mati itu. Anoman pun menemui Rama dan menyampaikan pesan Dewi Sinta. Rama sangat menyesal dengan tindakannya.

Rama, Sugriwa, Anoman, Wibisana, dan pasukan kera pun kemudian bahu membahu membuat tambak menuju pantai Alengka. Kemudian, pasukan Rama dan Rahwana pun terlibat pertempuran yang sengit. Rahwana dengan liciknya mencoba meyakinkan Sinta bahwa Rama dan Laksmana telah mati, tetapi Sinta tetap tidak mau melayani Rahwana. Setelah raksasa-raksasa andalan Alengka mati di tangan pasukan Rama, Rahwana pun semakin geram. Ia  datang ke Taman Argasoka, Trijata dengan cerdiknya mengatakan bahwa Dewi Sinta mau melayaninya jika ia sendiri yang membawa kepala Laksmana dan Rama.
Rahwana pun segera pergi ke medan tempur. Ia menyuruh makhluk halusnya mengobrak-abrik pasukan kera. Matahari meredup, sementara Dewi Windradi, Retna Anjani, dan para bidadari surga memancarkan cahaya yang menerangi pandangan para kera sekaligus menggelapkan pandangan para raksasa. Setelah matahari kembali bersinar, Rahwana terkejut melihat kebinasaan para raksasa. Rahwana tidak gentar, ia berteriak bahwa Sinta sendiri yang menghendaki kematian Laksmana dan Rama. Hati Rama pun diliputi keraguan terhadap Sinta, tetapi ia tetap menarik panah Guwawijaya dan mengarahkannya pada Rahwana. Setelah panah itu mengenai leher Rahwana, Anoman dan kelima saudara kandungnya menjatuhkan Gunung Suwela. Rahwana pun menjerit menyayat di bawah Gunung Suwela. Selama-lamanya ia takkan mati dalam hidupnya yang tersiksa.

Setelah kemenangannya, Rama pun berhasil menemui Sinta yang tampak semakin indah dalam pandangannya. Rama merasa iri dengan ketabahannya, ia malu membayangkan penderitaan Sinta. Bagi Rama, ketabahan Sinta melebihi kebesarannya. Apalagi saat ia mengingat kata-kata Rahwana, semakin irilah hatinya. Ia pun meminta Sinta membuktikan kesuciannya dengan terjun ke dalam lautan api. Setelah orang-orang terdekatnya mengingatkan Rama, ia pun sadar dan ingin menarik kembali kata-katanya. Akan tetapi, Sinta terlanjur menyanggupi permintaan Rama. Sinta pun terjun ke dalam lautan api.


Tanggapan Pembaca

Kisah Ramayana memang sudah sangat dikenal terutama oleh masyarakat Jawa. Sementara saya sendiri hanya tahu beberapa garis besarnya. Bahwa cerita itu tentang Rahwana yang bermuka sepuluh menculik Sinta. Sementara Sinta yang jadi eksil di hutan karena mengikuti Rama yang juga diikuti Lesmana, tertangkap Rahwana karena tidak mau menurut untuk terus berada di dalam lingkaran (cerita yang juga ada di kisah Sun Go Kong). Bahwa dalam usaha merebut Sinta itu, Rama dibantu oleh kera Anoman yang sempat membakar Alengka dengan ekornya. Bahwa setelah Sinta bisa didapatkan kembali, ternyata Rama ragu akan kesucian Sinta sehingga ia menyuruh supaya Sinta membuktikannya dengan masuk ke api, jika terbakar berarti tidak suci, tapi jika tidak apa-apa berarti suci, masih belum diapa-apakan Rahwana. Tapi membaca buku karya Romo Sindhunata ini, saya baru sadar bahwa ada begitu banyak filosofi tentang cinta dan tentu saja fatalisme (yang di buku-buku karya orang asing disebut adalah ciri/karakter orang Jawa) di kisah itu. Buku itu adalah tafsiran atau versi Sindhunata dalam membaca kisah Ramayana. Tapi saya merasa Sindhunata juga tidak mengubah-ubah cerita atau karakternya. saya terkesan akan banyak hal. 

Sensasi setelah menyelesaikan sebuah buku mungkin selalu membuat saya ingin menulis sesuatu. Tapi sudah lama keinginan itu tidak tercapai. Keinginan untuk membeli buku yang sudah selesai dibaca mungkin juga terbilang jarang muncul. Tapi buku ini memunculkan lagi hal-hal di atas.saya sebenarnya tidak begitu suka gaya tulisan Sindhunata yang kadang terasa rumit. Tapi mungkin inilah model bahasa karya sastra tahun 80-an. Bagi saya, halaman yang paling sulit dibaca dari sebuah buku mungkin adalah 100-50 halaman terakhir. Di halaman-halaman itu, biasanya penulis akan mengulur-ulur cerita atau kalau buku fiksi sudah mulai bicara ngalor ngidul dan rumit. Saya sendiri di waktu itu biasanya sudah mulai 'takut' atau merasa puas diri karena merasa sudah cukup tahu isi buku itu secara keseluruhan, lagaknya seperti saya membaca untuk menulis resensi saja. Ini tidak terjadi di sini, bahkan halaman-halaman itu justru seru-serunya dan membuat saya menjadi semakin penasaran.

Bagian tentang perang dan pertumpahan darah, siasat dan ilmu-ilmu yang dikeluarkan tentu saja adalah yang paling menarik. Seperti kembali ke masa anak-anak saat menyaksikan film-film seri silat yang menampilkan jagoan-jagoan dengan ilmu-ilmu khusus, apalagi kalau pendekar-pendekarnya itu sudah berkumpul dan membentuk koalisi. Tapi buku ini bukan sekadar kisah silat. Dan syukurlah karena memang begitu. Saya mungkin tidak terlalu tertarik filsafat Jawa atau filsafat wayang. Saya merasa bisa mengetahuinya dari orang-orang di sekitar saya langsung. Tapi saya tertarik pada ceritanya. Membaca atau melihat orang-orang Barat bicara dengan mengutip kisah-kisah mitologi Yunani membuat saya sering merasa iri. Saya juga sering agak merasa aneh saat orang-orang Indonesia, apalagi kalau orang Jawa, juga menulis dengan mengutip kisah yang sama. Seperti hanya supaya terlihat cerdas atau karena tidak kenal cerita mitos di kalangannya sendiri. Mungkin saya hanya sedang mengolok diri sendiri. Apapun itu, saya kini mulai tertarik dengan kisah-kisah wayang seperti itu. Tapi mungkin akan lebih baik jika mencari tahunya dari buku saja, bukan dari pagelaran wayang maupun film macam yang dari India di TPI dulu itu. Apakah buku ini sudah ada lanjutannya?

Lalu tentang cinta yang dibalut sikap fatalistik. Tentang makna-makna, meski mengingatkan saya dengan para pejabat, terutama di zaman Suharto, yang mencoba berfilsafat. Tapi, saya tetap suka. Nama-nama yang sekarang banyak dipakai untuk nama orang membuat saya tersenyum. Saya mulai tertarik saat membaca bagian yang menceritakan lahirnya ksatria bernama Gunawan Wibisana. Yang membuat menarik tentu saja karena itu satu-satunya nama tokoh yang memakai nama depan, Gunawan lagi, jadi saya malah membayangkan itu seperti nama pengusaha yang etnis Tionghoa. Bahwa ada orang tua yang menamai anaknya dengan nama karakter gandaruwa seperti Andriani juga cukup mencengangkan. Tentang pocong, jrangkong, banaspati, wewe, dsb, membuat saya ingin tahu lebih banyak. Saya  masih belum bisa merangkai kesan yang utuh. Seperti biasanya akan sulit jika harus menceritakan ulang sebuah film yang baru saja selesai ditonton. Yang jelas, memang jelas hebat manusia luar biasa seperti Sindhunata bisa merangkum sebuah cerita epos dalam 360-an halaman saja.

Komentar

Postingan Populer