Sisi Lain Sejarah Pemberontakan Di Sulawesi Selatan: Tiba Sebelum Berangkat Karya Faisal Oddang
Kau serius bertanya kenapa Bissu—atau sebutlah orang Sulawesi Selatan mengutuk perang? Kau tahu, hanya karena kau punya otak, bukan berarti kau bisa berpikir, dan entah kenapa saya pikir kau tidak memanfaatkan otakmu ketika menanyakan hal itu. Jelas, sekali lagi, jelas, perang hanyalah perbuatan sia-sia yang mengatasnamakan kehidupan yang lebih baik—tetapi sungguh omong kosong!
(halaman 14-15)
“Soal
pemberontakan-pemberontakan di Sulawesi seperti DI/TII, Andi Azis serta
Permesta, sedikit banyak telah saya jelaskan di awal, hal itu hanya untuk
menunjukkan bahwa dari waktu ke waktu, pemerintah tetap saja hanya mengorbankan
orang-orang netral atau bahkan rakyat yang tidak tahu apa-apa.” (halaman
204-205)
Novel Tiba
Sebelum Berangkat merupakan sebuah buku setebal 216 halaman yang terbit
tahun 2018 dan merupakan karya ke-4 dari penulis muda berbakat Indonesia, yaitu
Faisal Oddang. Novel tersebut membahas sejarah dari sisi mereka yang kalah dan
menjadi yang terlupakan serta mereka yang dirugikan dari sejarah tersebut.
Penulisan novel yang menggunakan bahasa lugas membuat gagasan sejarah di dalam
novel ini mudah dicerna dan tidak terasa membosankan. Dinamika penokohan dan
konflik di dalam cerita juga tidak kalah seru, ada bagian di mana pembaca
dibuat mabuk cinta ketika kisah berfokus terhadap sejarah cinta antara Mapata
dan Batari, ada pula bagian di mana pembaca dibuat mual akibat penyiksaan Ali
Baba terhadap Mapata , serta disediakan pula bagian di mana pembaca dibuat
marah dan penuh emosi ketika Puang Matua Rusmi serta Mapata kehilangan semuanya
secara sekaligus. Kemudian, novel ini mengandung beberapa gagasan yang penting
untuk dijabarkan. Pertama, mengenai diskriminasi terhadap kaum Bissu yang
hanya menaati dan mengimani Tuhannya, Dewata Sewwae. Kedua, mengenai tanah adat
yang mendapat campur tangan dari pemerintah sehingga menghilangkan kebudayaan
di tanah adat tersebut serta merugikan masyarakat sekitar. Ketiga, terakhir,
yang menjadi fokus pembahasan di esai kali ini, adalah mengenai sudut pandang
sejarah dari mereka yang kalah, dari mereka yang terlupakan, semua dicurahkan
oleh Faisal Oddang dengan rapi dan mendalam. Bahwa Andi Azis ternyata hanyalah
korban atas pertarungan kekuasaan, bahwa kaum Bissu yang tidak bersalah
akhirnya diburu hanya untuk sebuah pengakuan, dan bahwa perang yang tidak
pernah reda atas dasar balas dendam atau dasar lain memberikan dampak merugikan
kepada banyak pihak.
Novel
Tiba Sebelum Berangkat dibuka dengan penyiksaan terhadap seorang pria
bernama Mapata. Interogasi dilakukan dengan sengit oleh Ali Baba untuk
mendapatkan informasi sejelas mungkin dari Mapata yang dituduh membuat
organisasi yang mengancam kehidupan berbangsa dan beragama. Kisah mengalir
dengan mengambil sudut pandang orang ketiga serba tahu dan tokoh sentral di
dalam novel adalah Mapata. Novel ini mengangkat sejarah pemberontakan di
Sulawesi Tengah dengan cukup detail. Kemudian, dari sejarah tersebut
dikembangkan menjadi sebuah cerita yang tercampur dengan kebudayaan latar
tempat di novel tersebut, yaitu Sulawesi Selatan. Penulis menonjolkan
sosio-historis Sulawesi Selatan ketika gejolak pemberontakan terjadi dengan
pemberontakan yang dimaksud, yaitu pemberontakan DI/TII di Sulawesi,
pemberontakan Andi Azis, dan sejarah mengenai upaya Indonesia meredakan
pemberontakan di Sulawesi Selatan. Maka dari itu, di dalam teks novel akan
banyak sekali ditemukan istilah sejarah dan istilah budaya yang harus pembaca
tahu agar jalan cerita logis dan saling berkesinambungan.
Faisal Oddang menampilkan sosio-historis di dalam teks dengan terang-terangan tanpa adanya perbedaan dengan sejarah atau budaya yang dituliskan oleh para ahli. Sejarah yang ditampilkan dalam teks hanya memberikan informasi tambahan dari sudut pandang mereka yang di Sulawesi Selatan serta menjelaskan alasan-alasan dibalik pemberontakan tersebut, pertanyaan mengenai mengapa Andi Azis sebagai perwira KNIL melakukan pemberontakan? Mengapa beberapa masyarakat Sulawesi Selatan melakukan pemberontakan? Dan mengapa dikirimnya tentara untuk mengondusifkan Sulawesi justru memperparah keadaan? Semua dijawab di dalam teks oleh Faisal Oddang yang mendapatkan keseluruhan sumbernya dari buku sejarah tentang Sulawesi Selatan. Maka dari itu, pembaca tidak akan merasa kesulitan dalam pembacaan novel tersebut meskipun gagasan yang dibawa cukup berat karena sejarah serta budaya yang ditampilkan tidak berbeda dengan yang masyarakat awam ketahui. Bahkan dengan membaca teks novel Tiba Sebelum Berangkat akan menyempurnakan kepingan puzzle pemahaman kita terhadap sejarah pemberontakan DI/TII yang dipimpin Kahar Muzakkar, kemudian sejarah pemberontakan Andi Azis, dan sejarah mengenai upaya Indonesia meredakan pemberontakan di Sulawesi Selatan.
Faisal Oddang di dalam teks novel Tiba Sebelum Berangkat menyuarakan pendapatnya bahwa ia berpihak terhadap rakyat yang terkena dampak kerugian akibat pemberontakan, perebutan kekuasaan, serta pergerakan militer pemerintah yang niatnya berusaha untuk mengondisikan wilayah Sulawesi Selatan melalui tulisan sang tokoh sentral, yaitu Mapata, yang Mapata tulis untuk Ali Baba. Mapata di dalam teks membenci berbagai pihak, baik dari DI/TII, dari pasukan Gurilla, maupun dari APRIS. Ayah kandungnya yang terbunuh akibat persaingan politik dan pemberontakan tersebut. Kemudian mengakibatkan ibu Mapata menikah lagi dengan Sukeri dan Mapata akhirnya bertemu dengan Sukeri yang memperkosanya dan membuatnya ketagihan melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis. Semua masalah Mapata bermuara dari perebutan kekuasaan yang tidak ada tanda-tanda untuk reda. Tidak hanya Mapata, masyarakat dan kaum Bissu juga dirugikan dari pemberontakan, perebutan kekuasaan, serta pergerakan militer pemerintah. Masyarakat yang harus rela persediaannya diambil oleh pasukan Gurilla serta DI/TII dan harus rela kebun, sawah, maupun gudang persediaan makanannya dibakar oleh APRIS agar pasukan Gurilla serta DI/TII kelaparan di hutan. Kemudian, kaum Bissu yang dibunuh dan diburu karena dianggap menyimpang dari agama Islam yang saat itu persebarannya cepat serta meluas di Indonesia. Meskipun di akhir novel Faisal terkesan sedikit menyalahkan pemerintah, tetapi keseluruhan novel bersifat netral dan hanya di bagian akhirnya saja pemerintah yang disalahkan. Akhir kata, Faisal Oddang berhasil menyusun sejarah dan budaya menjadi sesuatu yang bisa menghibur pembaca sekaligus mengedukasi pembaca mengenai sejarah dan budaya di Sulawesi Selatan. Tidak salah novel ini berhasil membawa Faisal Oddang menjadi salah satu finalis Kusala Sastra Khatulistiwa 2018.
Komentar
Posting Komentar