Seno Gumira Aji Darma: Tentang Sastra dan Pembebasan
“Ketika jurnalisme dibungkam
sastra yang berbicara” ungkapan tersebut terdengar tidak asing
karena merupakan pernyataan yang seringkali direproduksi oleh penggiat bahasa
khususnya dalam bidang sastra. Ungkapan yang dilontarkan oleh seorang mantan
wartawan orde baru, bernama Seno Gumira Ajidarma ini merupakan sebuah
pernyataan yang menegaskan bahwa sastra dapat dijadikan sebagai wadah untuk
menyampaikan kritikan, ketika aturan kebebasan demokrasi tidak lagi divalidasi.
Siapa sebenarnya Seno Gumira Ajidarma dan bagaimana pula konstribusinya dalam
bidang kesusastraan, hingga namanya memiliki tempat dalam deretan penulis
kebanggaan Indonesia?
Mengawali
karirnya sebagai seorang jurnalis, sastrawan yang merupakan anak dari Prof. Dr.
M.S.A. Sastroamidjojo dan dr. Poestika Kusuma Sujana ini, lahir di Boston,
Amerika Serikat pada 19 Juni 1958. Perjalanan proses kreatifnya hingga menjadi
seorang sastrawan besar pun bukanlah suatu hal yang mudah dan tanpa lika-liku.
Awal pertama kali ia memutuskan untuk terjun ke dunia sastra, beberapa kali
karyanya ditolak oleh penerbit. Namun, penulis yang memiliki nama samaran Mira
Seto ini tak henti untuk terus mengembangkan ide gagasannya hingga melahirkan banyak karya sastra yang kini masih
dipuja oleh masyarakat awam maupun para penikmat sastra.
Meskipun
menghabiskan setengah hidupnya di kota pelajar, Seno menjalani hampir seluruh
masa kecilnya di tanah kelahiran, Boston. Oleh karena itu, bahasa bawaan yang
ia gunakan untuk berkomunikasi sehari-hari adalah bahasa Inggris. Kebudayaan
dari Indonesia juga sedikit yang ia ketahui. Proses perkenalannya dengan bahasa
dimulai ketika Seno akhirnya kembali ke kampung halaman orang tuanya di Jogja.
Peralihan penggunaan bahasa komunikasi yaitu dari bahasa Inggris dengan bahasa
Jawa, membuat ia harus beradaptasi. Dalam sebuah talkshow bertajuk Moco Sek yang diselenggarakan oleh BNI,
Seno menuturkan bahwa bahasa Jawa yang ia tahu pertama kali adalah kata “nyilih” yang berarti meminjam, atau dengan kata lain
hanya dia yang memiliki barang yang dapat dipinjam sedangkan yang lain tidak
memiliki. Belajar dari ragam bahasa Jawa tersebut membuatnya paham bahwa
melalui kata, sebuah bahasa dapat menunjukkan bagaimana posisi seseorang.
Setelah
menetap di Jogja, Seno memulai pendidikannya di salah satu taman kanak-kanak,
tepatnya di Bulak Sumur. Pada awalnya ia cukup kesulitan untuk berkomunikasi,
karena semua teman sebayanya menggunakan bahasa Jawa, sedangkan bahasa yang ia
kuasai dengan baik adalah bahasa Indonesia dan sedikit bahasa Inggris.
Kecintaan Seno pada bahasa terlihat ketika ia menginjak kelas tiga sekolah
dasar. Kegemarannya membaca buku terutama buku fiksi dan komik berbahasa
Indonesia, membuatnya menjadi salah satu siswa yang mahir di mata pelajaran bahasa
Indonesia. Ia bahkan dapat dengan mudah membuat sebuah karangan dengan bahasa
Indonesia.
Kecintaan
Seno Gumira dengan hobi membaca, nyatanya menjadi salah satu faktor ia mulai
menekuni dunia tulis menulis. Meskipun prosesnya memakan waktu yang panjang,
kegemarannya dalam membaca terutama bacaan fiksi dan komik, menjadi inspirasi
utamanya untuk suatu saat membuat tulisannya sendiri. Sejak remaja, Seno sangat
menyukai bacaan komik. Salah satu favoritnya adalah komik karya Karl May, yaitu
komik bergenre petualang, yang mengisahkan seorang tokoh utama bernama Old
Shutterhand. Karena imajinasinya yang begitu lekat dengan cerita pada komik
tersebut, ia bahkan sampai mendalami tokoh Old Shutterhand di kehidupan nyata.
Setelah lulus SMP, Seno sempat tidak mau untuk melanjutkan SMA. Ia mengembara
selama kurang lebih tiga bulan, dan menerapkan cara hidup survival seperti yang dilakukan tokoh komik kesayangannya. Selama
tiga bulan ia mengembara dari Jawa Barat hingga ke Medan, tetapi karena kondisi
semakin sulit dan uangnya menipis, Seno Gumira akhirnya memutuskan untuk
kembali ke rumah orang tuanya di Yogyakarta, dan melanjutkan pendidikannya di
SMA Kolese De Britto.
Meskipun
dikenal sebagai seorang sastrawan besar, Seno Gumira Ajidarma bukanlah seseorang
yang sejak awal berniat untuk berkecimpung ke dalam dunia sastra. Proses
kreatifnya dimulai ketika pada usia 17 tahun, ia memutuskan untuk bergabung
dalam sebuah kelompok pertunjukkan teater yang dipimpin oleh Azwar A.N. bernama
Teater Alam. Seno bergabung dengan kelompok teater tersebut selama kurang lebih
2 tahun. Selama di teater, ia tak hanya aktif dalam mendalami lakon-lakon
drama, tapi juga mulai aktif menulis baik cerpen maupun puisi, untuk akhirnya
dikirimkan ke redaksi agar dimuat di media cetak.
Di
tahun 1977, Seno Gumira memutuskan untuk melanjutkan pendidikan sarjananya. Ia
merantau ke Jakarta dan mengambil Jurusan Sinematografi di Lembaga Pendidikan
Kesenian Jakarta (LPKJ) atau yang sekarang sudah berganti nama menjadi Institut
Kesenian Jakarta (IKJ). Di Jakarta inilah awal mulai ia terjun ke dunia
jurnalistik. Dalam sebuah wawancara, Seno mengungkapkan bahwa alasan ia
tertarik menjadi wartawan juga terinspirasi dari komik Karl May, yang juga
sempat membuat ia mengembara selama tiga bulan. Ia melihat profesi wartawan dapat
membuatnya bebas untuk berkelana dalam peliputan berita. Selain itu,
motivasinya adalah ia masih tetap bisa melakukan hobi menulisnya di redaksi
pemberitaan. Seno sempat bekerja menjadi wartawan lepas di beberapa redaksi
majalah dan koran, seperti harian Merdeka,
majalah kampus Cikini (1980), dan Jakarta Jakarta (1985-1992).
Proses
kreatif Seno Gumira Ajidarma yang bermula dari bergabung ke kelompok teater,
menjadi wartawan, hingga menjadi salah satu sastrawan kebanggaan Indonesia,
merupakan buah dari kegigihannya untuk terus menciptakan karya. Hal tersebut
dibuktikan dengan banyaknya karya sastranya yang hingga kini masih menjadi favorit
para pembacanya. Misalnya, dalam karya puisi, ada beberapa antologi puisi yang
merangkum ratusan puisi yang telah ia buat, seperti Mati Mati Mati (1975), Catatan-Catatan
Mira Sato (1978), dan Bayi Mati
(1978). Seno juga memiliki beberapa karya cerpen yang diterbitkan dalam
kumpulan cerpen, yaitu Manusia Kamar
(1988), Saksi Mata (1994), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi (1995),
serta Sepotong Senja untuk Pacarku
(2002).
Tak
hanya menulis puisi dan cerpen, ia juga menulis beberapa karya novel. Dalam
penulisan karya novelnya, Seno Gumira banyak terinspirasi dari pengalamannya
sebagai seorang wartawan, yang kala itu tidak memiliki kebebasan dalam
penulisan berita, terutama pemberitaan yang berkaitan dengan kondisi
pemerintahan yang sedang terjadi. Misalnya pada novel Jazz, Parfum, dan Insiden yang pertama kali dicetak pada tahun
1996. Novel ini mengangkat tentang isu kekerasan yang terjadi di Dili, Timor
Timur. Pada masa Orde Baru Insiden Dili merupakan salah satu kejadian ditabukan
di media. Dengan menggunakan gaya bahasa yang bersifat sarkasme namun tetap
metaforis, novel ini menguak kejadian kekerasan yang dilakukan oleh Pemerintah,
tetapi selalu ditutup-tutupi kebenarannya.
Jazz, Parfum, dan Insiden,
mengisahkan tentang kehidupan wartawan yang menyukai musik jazz dan suka
bergaul dengan wanita-wanita yang tak pernah lepas dari aroma parfum. Melalui
tokoh utama seorang wartawan, Seno
menyisipkan sedikit pengalamannya ketika menjadi wartawan dulu. Novel ini
merupakan salah satu karya sastranya yang juga disatukan ke dalam bentuk
trilogi dengan kumpulan cerpen berjudul Saksi
Mata yang mengangkat isu yang sama.
Karya
novel Seno yang cukup populer selanjutnya adalah novel berjudul Kitab Omong Kosong (1994). Novel ini
bahkan pernah mendapat penghargaan bergengsi Kusala Sastra Kathulistiwa di tahun 2005. Novel ini memiliki genre
yang cukup unik karena didekonstruksi langsung dari kitab Ramayana karya
Walmiki. Kitab Omong Kosong merupakan
sudut pandang lain dari romansa cerita Rama dan Shinta, yang selama ini
dielu-elukan sebagai pasangan sejati yang saling mengasihi. Selain dua novel populer di atas, Seno juga
memiliki karya novelnya yang lain di antaranya, Biola Tak Berdawai (2004); Kalatidha
(2007); Wisanggeni Sang Buronan
(2000); Nagabumi I: Jurus Tanpa Bentuk
(2009); dan Drupadi (2017).
Seno
Gumira merupakan penulis yang serba bisa. Ia tidak memiliki standar tertentu
dalam setiap penulisan ide-ide karyanya. Di suatu kesempatan, ia menuturkan
bahwa ia menulis sesuai dengan kebutuhan. Jika didasari oleh kebutuhan
personal, Seno hanya akan menulis apa yang ingin ia tulis, tidak peduli apakah
karyanya dipahami orang lain atau tidak. Namun, jika tulisannya ditujukan untuk
kebutuhan orang banyak, sebisa mungkin ia akan menggunakan bahasa yang mudah
untuk dipahami awam. Dengan menerapkan ciri khasnya dalam menulis karya sastra
tersebut, ia dan karya-karyanya telah menerima banyak penghargaan, baik dari
dalam maupun luar negeri.
·
Penghargaan dari majalah Zaman (1980) untuk cerpen Dunia Gorda
·
Penghargaan dari harian Kompas (1990 & 1993) untuk cerpen Midnight Express dan Pelajaran
Mengarang
·
Penghargaan dari harian Suara Pembaruan (1991) untuk cerpen Segitiga Emas
·
Dinny
O’Hearn Prize for Literary (1997), Australia, untuk cerpen Saksi Mata
·
South
East Asia Write Award (1997), Bangkok, Thailand, untuk cerpen Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi
·
Penghargaan dari Radio Arif Rahman Hakim (1997)
untuk cerpen Kejadian
·
Kusala Sastra Khatulistiwa (Khatulistiwa Literary Award) (2005),
Indonesia, untuk novel Kitab Omong Kosong
· Cerpen Terbaik pilihan Kompas tahun 2007 dan Anugerah Pena Kencana (2008) untuk Cinta di Atas Perahu Cadik
· Author of the Day di London Book Fair (2019)
Komentar
Posting Komentar