Rasisme Dan Diskriminasi Dalam Novel Rumah Kaca Karya Pramoedya Ananta Toer

Novel berjudul Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer merupakan novel yang terbit pada tahun 1988 dan merupakan novel terakhir dari seri Tetralogi Pulau Buru. Novel tersebut secara garis besar menceritakan mengenai pra, proses, dan pasca pekerjaan seorang bekas Komisaris Polisi Kepolisian Betawi bernama Jacques Pangemanann dalam menumpas Minke dan para pribumi terpelajar. Penugasan tersebut diberikan karena Belanda tidak ingin terjadinya Filipina dan Tiongkok kedua di Hindia Belanda. Pangemanann yang merupakan seorang pribumi mengalami pergolakan batin karena harus mengkhianati bangsanya dan harus mengkhianati idolanya sendiri yang menjadi target utama dalam tugasnya kali ini, yaitu Minke. Pada akhirnya, Pangemanann memilih jabatan dan kekuasaannya daripada prinsip yang selalu ia pegang sejak dulu.

            Novel Rumah Kaca banyak menunjukkan, dalam teksnya, mengenai realitas sosial dan peristiwa sosial pada zaman penjajahan. Fokus utama dari novel ini adalah di bidang politik, tetapi dalam kritik sastra kali ini akan dibahas lebih mendalam mengenai rasisme dan diskriminasi yang terdapat di dalam buku tersebut. Rasisme dan diskriminasi dipilih karena di dalam novel sering disinggung kejadian-kejadian maupun hal-hal yang berkaitan dengan dua topik tersebut. Contoh-contoh rasisme di dalam buku yang pertama adalah mengenai kejadian kerusuhan di Kudus tahun 1918 yang disinggung di dalam teks dan ternyata terdapat campur tangan dari pihak Belanda. Kemudian, kebijakan sistem pendidikan di masa koloni yang membedakan kaum eropa dan kaum pribumi. Pangemanann sebagai tokoh utama juga sering mendapatkan perlakuan yang tidak hormat dari lingkungan sekitarnya, baik ketika di Kepolisian Betawi maupun ketika di Algemeene Secretarie, karena ia bukan bagian dari kaum eropa. Sebutan-sebutan tidak patut juga sering disebutkan oleh para pejabat koloni kepada kaum perjuangan Indonesia, seperti ketika mereka menggolongkan partai-partai Indonesia ke dalam kelas kambing.

Diskriminasi juga sering ditampilkan di dalam teks novel. Perlakuan Komisaris Besar Donald Nicolson terhadap Pangemanann diperlihatkan sering menyudutkan Pangemanann karena jabatan sang Komisaris Besar yang setingkat di atas Pangemanann. Pangemanann sendiri di dalam novel mengakui bahwa dirinya sering merasa awas karena akibat dari darah pribuminya, ia kerap mendapatkan diskriminasi berupa ancaman, masalah, dan hal lainnya yang berusaha menjatuhkan dirinya dari jabatan komisaris. Diskriminasi juga muncul akibat kesenjangan ekonomi yang terjadi pada masa itu. Para priyayi, termasuk Pangemanann, merasa dirinya lebih baik daripada sesama pribumi yang lainnya. Kesaksian Reinadr Jansen ketika diinterogasi juga semakin menambah permasalahan diskriminasi yang terjadi pada masa kolonial di Indonesia tersebut. Maka dari itu, fokus kritik sosial rasisme dan diskriminasi di ambil sebagai topik utama dalam kritik sastra ini karena Pram banyak menyinggung dua topik tersebut selain topik utama dari novel.

Rasisme dan diskriminasi ditampilkan secara mendetail dan terang-terangan. Pram menuliskan dengan baik dan mudah dipahami mengenai bagaimana pribumi diperlakukan saat itu, bagaimana si miskin kerap mendapatkan perlakuan tidak lebih dari seekor hewan liar di mata si kaya, orang-orang etnis cina yang dijadikan korban dari kekejaman koloni yang ingin menjatuhkan pribumi dengan mengadu domba kedua ras tersebut, dan pribumi pintar yang berusaha memperjuangkan hak bangsanya akan dibuang dan diincar oleh pihak koloni. Semuanya ditulis dan dijadikan sebuah buku novel berjudul Rumah Kaca. Meskipun terdapat beberapa samaran di dalam novel, tetapi samaran tersebut sangat mudah ditebak karena memang begitu terang-terangan Pram dalam menuliskan kembali sejarah yang benar-benar terjadi pada masa itu.

Sikap Pram sebagai penulis novel Rumah Kaca terhadap rasisme dan diskriminasi sendiri adalah menolak serta menampilkan situasi ideal yang seharusnya. Terbukti dari perang batin yang terjadi dalam diri Pangemanann dan bagaimana Minke serta Si Pitung yang kerap menghantui Pangemanann membuat Pram sebagai penulis berusaha menghadirkan penolakannya terhadap apa yang dilakukan oleh Pangemanann dan apa yang dilakukan pihak koloni lewat Pangemanann terhadap rasisme dan diskriminasi perjuangan pribumi. Pram kerap menampilkan situasi ideal yang seharusnya terjadi lewat monolog-monolog dari Pangemanann ketika ia teringat dengan kepribadian dirinya yang dulu. Bagaimana Pangemanann merasa bersalah kepada Tuan De Cagnie dan sering berandai-andai membuktikan sikap penolakan penulis serta sikap berusaha menampilkan situasi ideal terhadap realitas sosial yang terjadi pada saat itu.

 Di akhir esai ini, saya pribadi sebagai penulis esai sangat mengapresiasi tulisan dari Pramoedya Ananta Toer selaku penulis dari novel Rumah Kaca. Tidak hanya menghadirkan persoalan-persoalan serta realitas-realitas sosial yang terjadi kepada para pahlawan Indonesia pada saat itu, Pram juga memberikan bumbu berupa pengetahuannya yang lebih mengenai Tionghoa. Pram memang diketahui memiliki ketertarikan lebih terhadap etnis tersebut dan negara Tiongkok sehingga di awal novel tersebut diberikan penjelasan mendetail mengenai situasi kemerdekaan Tiongkok yang tentu menjadi akar dari kebangkitan semangat perjuangan rakyat-rakya Asia, termasuk Indonesia. Penulis sendiri terbukti lebih paham mengenai perjuangan Sun Yat Sen di Tiongkok karena daripada memilih menjelaskan secara mendetail perjuangan kemerdekaan Filipina, penulis justru lebih memilih untuk menjelaskan dengan detail perjuangan etnis dan negara Tiongkok tersebut. 

Komentar

Postingan Populer