Memori Siang Itu

Siang ini angin bertiup pelan sejuk rasanya. Burung berkicau pelan meneduhkan diri di pepohonan pekarangan rumah. Suara kendaraan mobil di seberang rumah disertai obrolan ringan antarmanusia mengalun di indera telinga saya yang sedang tenggelam di lautan imajinasi. 

Dinding putih kamar berukuran 5x5 ini tiba-tiba menarik untuk dilihat. 
Terasa dingin disentuh, berbanding terbalik dengan suasana di luarnya yang jauh dari kata dingin.

Dua puluh tahun lewat dengan sangat cepat. Tergesa-gesa. Banyak pengalaman baik dan buruk hadir berlalu-lalang menumpuk di ingatan seorang remaja akhir yang sedang sibuk melamun. Kapan ya ingatan paling awal saya di kehidupan yang masih dapat saya ingat? Ingatan mengenai pasir-pasir masuk di jari-jari saya, ombak tenang yang membasuh kaki secara lembut, dan angin laut yang bertiup kencang masih hangat saya ingat terjadi disaat saya berusia 3 tahun.

Panggilan orang tua saya untuk berpose dan menghadap kamera. Kakak-kakak saya yang berlarian tanpa mengenakan baju untuk bermain air seperti tidak tahu apa itu penyakit masuk angin. Semua foto tersebut tercetak di album yang sekarang bisa saja saya ambil untuk melihat-lihat, tetapi rasa malas ini sepertinya masih erat memeluk saya sejak sang fajar terbit dari timur. Kemudian, ingatan saya melompat ketika saya mengunjungi sebuah museum penerbangan di salah satu bandara. Usia saya masih 5 tahun saat itu.

Saya ingat ketika menaiki salah satu helikopter yang disimpan di dalam museum dengan entah siapa namanya, sepertinya teman sekelas saya di kelas B. Gigi yang hitam itu mulai terlihat karena bibir yang biasanya terkatup mulai terbuka lebar untuk berpose di depan kamera. 

"Rasyd! Lihat ke sinil" teriak ibuku dengan senyum lebar ikut senang melihat anaknya menikmati wisata museum,

Lagi, foto tersebut juga disimpan dengan rapi di dalam album. Kali ini, saya mulai bangun dari posisi rebahan saya, tetapi sepertinya motivasi untuk berdiri masih kurang. Salahkan angin sejuk siang ini yang membuat saya mengantuk. Foto ketika saya berjejer dengan teman-teman seangkatan saya di Taman Kanak-Kanak juga tersimpan mulus di dalam album itu. Saya dengan jaket merah yang masih membawa bau pendingin udara bus tersenyum menghadap kamera. Gigi hitam itu, sekali lagi terlihat.

Selanjutnya, ingatan saya melompat cukup jauh ketika saya sedang menunggu jemputan di depan gedung Sekolah Menengah Pertama. Saya memainkan kaki karena bosan dan tidak ada kegiatan lain selain menunggu. Maklum, saat itu siswa seumuran saya dilarang membawa telepon genggam. Teman-teman saya yang rumahnya cukup dekat dengan sekolah dibandingkan dengan saya sudah bergiliran pamit kepada saya.

Kegiatan menunggu tersebut terjadi berkali-kali hingga menjadi rutinitas yang saya sendiri, di saat ini, terheran mengapa saya bisa selama itu duduk tidak melakukan apa-apa dan hanya bermain dengan kaki-kaki kecil itu. Kenapa saya dulu tidak pergi menunggu ke kafe dekat sekolah saja, ya? Kemudian, kenapa saya dulu tidak pergi ke rumah teman saya terlebih dahulu untuk memakan waktu dan meminta dijemput di rumah teman saya saja. Kenapa ya saya dulu lebih memilih terdiam dan terpekur lama di depan sekolah?

Sekarang ingatan saya berkelana ketika saya pergi ke tempat ujian masuk perguruan tinggi negeri. Saya yang diantar oleh kakak sulung saya, dengan pikiran yang berkecamuk memasuki ruang tunggu ujian yang ternyata masih hanya 1 anak saja di ruang itu. Masih teringat jelas di kepala saya bagaimana rasa mulas yang melilit perut saya menyerang karena pendingin ruangan yang terlalu rendah suhunya. Iya, saya tidak sekuat seperti dulu ketika bertemu dengan ruangan dingin dan saya merupakan pribadi yang sangat pemalu bahkan sekadar untuk meminta tolong menaikkan suhu pendingin ruangan.

Rasa ketidakpastian, keraguan, ketakutan, sekaligus berusaha mengingat materi yang saya pelajari saat di ruang tunggu membuat saya rindu saat itu. Akan tetapi, tentu cukup sekali saja saya merasakan hal seperti itu. Sulit sekali ternyata perjalanan mendapatkan perguruan tinggi negeri dibandingkan ketika mencari sekolah menengah. Tidak terbayang nanti bagaimana rasanya ketika saya sudah mencapai fase perjalanan untuk mendapatkan pekerjaan.

Sudah sejauh ini saya melewati semua itu, terkadang masih tidak menyangka saja rasanya. Saya tahu persis bagaimana sulitnya ketika belajar untuk ujian di bangku sekolah wajib belajar dulu. Bagaimana sulitnya ketika minggu-minggu remedial di mana beberapa siswa, termasuk saya, harus mengejar tenggat waktu tugas tambahan demi mengejar nilai. Yang paling membekas adalah tugas mata pelajaran geografi di mana saat itu pertama kali saya harus mengerjakan tugas yang tingkat kesulitannya setara dengan penugasan untuk mahasiswa. Ya, penugasannya adalah mempresentasikan data-data kependudukan kelurahan tempat tinggal setiap siswa.

Tugas seperti itu, sebenamya, merupakan tugas yang cukup mudah setelah mengenal berbagai jenis tugas di perkuliahan, tetapi untuk tingkat berpikir anak SMA entah kenapa tugas tersebut sangat sulit sekali bagi saya dan teman-teman saya saat itu. Yah, itu merupakan pengalaman yang cukup membekas di ingatan saya karena saya merasa gemas dan lucu saja kenapa dulu bisa-bisanya masuk kelurahan untuk melakukan observasi saja rasanya malu sekali hingga akhirnya ibu saya ikut turun tangan untuk membantu saya melakukan observasi data di kelurahan.

Semua nostalgia mendadak itu berhenti ketika saya teringat hari ini ada deadline tugas pukul 18.00.

Ya Allah, saya cuman ingin lulus saja. Batin saya meringis karena waktu senggang kali ini harus berhenti untuk melanjutkan kehidupan kuliah.

Komentar

Postingan Populer