Ketidaksetaraan Gender Dan Representasi Perempuan Dengan Kebahagiaannya Tersendiri Dalam Novel Namaku Hiroko Karya Nh. Dini

“Ya. Aku puas dengan kehidupanku. Hidup di tengah kota yang beragam. Dan aku tidak menyesali pengalaman-pengalamanku.”

(Namaku Hiroko: 242)

 

Namaku Hiroko merupakan novel karya penulis perempuan Indonesia bernama Nh. Dini. Novel tersebut adalah novel keempat dari Nh. Dini dan cetakan pertamanya terbit pada bulan Juni tahun 1989. Secara garis besar, novel ini bercerita mengenai perkembangan pola pikir seorang perempuan bernama Yamasaki Hiroko yang merupakan anak sulung dalam keluarganya dari pasangan Yamasaki Ueno dengan istri pertamanya yang sudah meninggal saat Hiroko masih berusia 4 tahun. Hiroko awalnya merupakan gadis desa lulusan sekolah rendah dengan pola pemikiran yang terpengaruhi oleh tradisi dan adat lingkungan sekitarnya sebelum akhirnya ia tidak puas dengan kehidupan dan pemikiran orang-orang desa setelah ia memiliki pengalaman bekerja menjadi seorang pembantu di kota. Pada akhirnya, Hiroko berhasil keluar dari desa atas izin ayahnya dan bantuan dari temannya, yaitu Tomiko. Perjalanan Hiroko untuk mendapatkan kepuasan dan kebahagiaan di kota tidaklah mudah. Banyak pengalaman pahit dan manis ia lewati, tetapi akhirnya Hiroko bahagia, ia puas dengan keadaannya, dengan semua pengalaman yang ia dapatkan di kota, dan ia tidak menyesali semua itu.

Pada halaman-halaman awal novel Namaku Hiroko, pembaca sudah disajikan dengan tidak kesetaraan gender, dominasi gender, dan bagaimana perempuan di Jepang pada zaman dahulu diperlakukan sebagai objek dengan sangat buruk. Dibuktikan dengan kutipan-kutipan berikut ini.

“Keduanya, seperti biasanya anak laki-laki di negeri kami, tumbuh dengan semaunya serta dengan kemanjaan yang mengkhawatirkan.” (hal. 12)

“Ayahku orang yang menentukan dalam kehidupan kami. Dan aku yang dibesarkan dengan lingkungan adat kepala tunduk untuk mengiyakan semua perintah orang tua, tidak melihat alasan apa pun buat membantahnya.” (hal. 15)

“Aku merasa tamu itu (Tamura) tak sekejap pun mengalihkan pandang dariku, seperti seorang pembeli yang mengamati sapi yang akan dibayarnya pada suatu lelang ternak.” (hal. 15)

Kutipan-kutipan tersebut menunjukkan bagaimana dominasi gender laki-laki masih melekat di keluarga Hiroko serta bagaimana perempuan dianggap sebagai objek dan tidak memiliki kebebasan diri seperti laki-laki. Dua adik laki-laki Hiroko dibesarkan dengan kebebasan dan hanya pernah disuruh oleh orang tuanya sekali, yaitu untuk menengok jalan raya kalau-kalau ada truk yang hendak mengangkat hasil panen. Hiroko sendiri merupakan anak yang patuh dengan orang tuanya sehingga tidak banyak pemberontakan yang ditunjukkan Hiroko di awal novel ketika ia masih tinggal bersama orang tuanya. Kemudian, tengkulak bernama Tamura yang pertama kali memberikan kesempatan kepada Hiroko untuk menjadi pembantu di kota juga menatap Hiroko seperti sebuah objek ‘yang sudah dibeli’ dan tatapan tersebut sangat disayangkan di lingkungan Hiroko dianggap lumrah karena hanya perempuan yang tidak boleh menatap langsung lawan jenisnya sedangkan untuk laki-laki diperbolehkan. Hal tersebut juga menunjukkan adanya dominasi laki-laki di dalam budaya lingkungan sekitar Hiroko.

“Setiap kali berdekatan atau berbicara dengan dia, aku terpaksa mengangkat muka dan menentang matanya. Sebenarnya kurang senonoh bagi gadis yang mengerti ajaran sopan santun.” (hal. 42)

Permasalahan ketidaksetaraan gender di dalam novel Namaku Hiroko juga ditunjukkan dengan budaya patriarki yang masih sangat kuat di lingkungan sekitar Hiroko, baik di kota atau di desa. Budaya patriarki di desa ditunjukkan dengan ayah Hirokolah yang menentukan kehidupan anggota-anggota keluarganya. Kemudian, budaya patriarki serta ketidakadilan gender dalam bentuk subordinasi di kota di dalam novel ditunjukkan dengan bahwa istri tidak boleh keluar rumah sembarangan dan hanya bisa keluar bersama suami saat peristiwa-peristiwa penting saja seperti tahun baru serta budaya istri yang harus selalu tahu kegiatan suaminya dan harus bersimpuh sembari mendengarkan segala keluh kesah suaminya sepulang kerja di depan pintu rumah. Budaya tersebut merupakan contoh subordinasi yang membuat peran perempuan terasa lebih rendah daripada laki-laki.

“Di negeri kami waktu itu memang tidak layak. Istri-istri biasa keluar rumah bersama suaminya pada peristiwa-peristiwa istimewa.... Nyonya-nyonya itu biasa terbirit-birit menuruti langkah sang suami karena mengenakan kimono yang sempit.” (hal. 18)

“Tuan sering keluar malam bersama pemuda itu. Mereka pulang mendekati pagi. Jika mereka pergi, nyonya tidak tidur semalaman menunggunya. Segera setelah terdengar suaranya di lorong samping, nyonya melompat lalu menunggu di depan pintu, bersimpuh menurut cara negeri kami.” (hal. 17)

            Stereotip terhadap perempuan bersifat materialisme dan perempuan tidak boleh gendut serta perempuan yang gendut adalah perempuan yang jelek dimunculkan pula di dalam novel ini. Kishihara secara tersirat memberikan stereotip semua perempuan materialisme dengan hendak membukakan nomor tabungan atar nama Hiroko agar Hiroko bisa menjadi miliknya. Kemudian, Soeprapto yang merupakan teman Hiroko memberikan stereotip bahwa perempuan tidak boleh gendut karena akan tampak jelek sedangkan untuk laki-laki boleh-boleh saja menggendutkan badannya.

“Dengan kedermawaannya suatu kali dia (Kishihara) berkata akan membuka nomor tabungan di bank kota atas namaku.... Di samping itu pula merupakan keinginannya agar aku tetap melayani kemauannya, yang berarti aku harus menjadi sebagian miliknya.” (hal. 141)

“Aku (Soeprapto) masih muda. Mengapa bersusah payah memikirkan makanan. Biar gemuk! Laki-laki boleh gemuk. Kalau perempuan, jadi jelek.” (hal. 170)

            Sebenarnya banyak masalah gender yang dibahas di dalam novel, seperti dominasi laki-laki dan ketidakberdayaan perempuan dengan bukti pemerkosaan yang dilakukan oleh majikan kedua Hiroko dan kekerasan yang dilakukan oleh majikan pertama Hiroko yang memukuli istrinya menggunakan payung. Dua hal tersebut menunjukkan bahwa ketidakberdayaan perempuan dan dominasi laki-laki di Jepang masih ada dan mengakar erat dalam budaya Jepang. Tidak berhenti sampai di situ, ketidaksetaraan gender dalam bentuk beban ganda yang diterima perempuan juga ditunjukkan di dalam novel dengan ibu Hiroko yang harus lebih giat dan cekatan dan Emiko teman Hiroko yang harus kerja ekstra karena suaminya yang suka berjudi.

            Di pertengahan novel, pikiran Hiroko untuk melawan ketidakadilan atau ketidaksetaraan gender ditunjukkan dengan bukti kutipan yang cukup panjang sebagai berikut.

“Di negeriku, waktu itu kedudukan wanita jauh di bawah laki-laki.... Sejauh ingatanku, selama di desa aku tidak memandang hal itu sebagai sesuatu yang aneh atau menimpang dari kebiasaan. Aku menerimanya seperti aku juga menerima kebanyakan hal lainnya.... Benarlah! Wanita juga berhak memperoleh perlakuan sewajarnya sebagaimana laki-laki.” (hal. 168-169)

Kutipan tersebut membuktikan berontaknya Hiroko terhadap ketidakadilan yang didapatkan oleh dirinya dan perempuan di lingkungan sekitarnya. Pada akhirnya, Hiroko memilih fokus terhadap kebahagiannya dan hal-hal yang membuatnya nyaman. Dia tidak lagi mengurusi mengenai adat, mengenai undang-undang, dan hal mengikat lainnya yang membuat Hiroko terkurung dalam budaya dan aturan buruk tersebut. Hiroko menolak Soeprapto dan Kishihara sebagai bukti bahwa ia sebagai perempuan juga berhak memilih dan menjalani hidup sesuai kemauannya, sesuai apa yang ia kehendaki. Perempuan juga bisa independen dan tidak bergantung kepada laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan.

Nh. Dini sebagai salah seorang dari pihak perempuan mencurahkan seluruh ideologi feminismenya ke dalam novel Namaku Hiroko dengan apik dan mudah dipahami. Tentu dengan pengalamannya sebagai pramugari, penyiar, serta istri dari seorang diplomat semakin memperkaya pengetahuan Nh. Dini mengenai problematika gender dan memberikan pengaruh dengan semakin kaya dan variatif isi novel-novelnya yang dominan membahas mengenai peran perempuan, salah satunya, yaitu Namaku Hiroko. Nh. Dini sekali lagi berhasil menghasilkan karya yang patut diacungi jempol karena semakin memperkaya variasi karya sastra di Indonesia dengan pemikiran-pemikirannya yang cerdas dan menarik. 

Komentar

Postingan Populer