Analisis Kehidupan Dalam Puisi Hatiku Selembar Daun Karya Sapardi Djoko Damono
Hatiku
Selembar Daun
Karya Sapardi Djoko Damono
hatiku
selembar daun melayang jatuh di rumput;
nanti dulu,
biarkan aku sejenak terbaring di sini;
ada yang masih
ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput;
sesaat adalah
abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.
Sihir Hujan,
1984
Puisi Hatiku Selembar Daun karya Sapardi Djoko Damono dibuat dengan
memuat tema mengenai ketuhanan. Tema tersebut dapat diketahui dengan memaknai
setiap diksi di dalam puisi yang merupakan sebuah tanda untuk dimaknai agar
puisi menjadi lebih indah dan puitis. Tanda dari setiap diksi tersebut mencakup
signifier (petanda) dan signified (penanda) serta tanda dibagi menjadi 3, yaitu
ikon, simbol, dan indeks. Penentuan tema ketuhanan dari puisi karena setelah
memahami tanda-tanda yang dimunculkan oleh penyair dengan alasan yang akan
dijabarkan sebagai berikut.
Sapardi sebagai penyair mencoba
menghubungkan kematian (signifier) dengan sebuah daun (signified). Penghubungan
kedua tanda tersebut memiliki arti tersendiri yang dapat dilihat dari baris
pertama puisi dengan bunyi /hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput/. Metafora
muncul di dalam puisi mengibaratkan hati,
yang di sini bisa saja memiliki arti jiwa dan perasaan, bagaikan sebuah daun yang jatuh ke rumput. Kata jatuh juga merupakan sebuah tanda bahwa
daun yang dijadikan padanan bagi hati secara spesifik adalah daun yang sudah layu atau mati karena
telah terputus dari dahannya kemudian jatuh ke atas rumput. Dapat disimpulkan
dari baris pertama Sapardi hendak menyampaikan sebuah jiwa atau perasaan (hati)
bagaikan daun yang sudah mati.
Di akhir baris juga muncul tanda
titik koma (;) yang artinya dapat dipakai sebagai pengganti kata penghubung
untuk memisahkan kalimat setara yang satu dari kalimat setara yang lain di
dalam kalimat majemuk. Tanda titik koma tersebut menyiratkan bahwa baris pertama
dan baris kedua masih satu kalimat dan merupakan kalimat majemuk. Maka dari
itu, di antara kedua baris tersebut dapat dihubungkan dengan sebuah konjungsi
antarkalimat yang dapat berbunyi /hatiku
selembar daun yang jatuh di rumput,
(tetapi/akan tetapi/namun) nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di
sini/. Artinya, ketika si aku lirik hendak menemui ajalnya, ia berdoa
kepada Tuhan untuk meminta waktu sejenak hendak berbaring terlebih dahulu.
Baris kedua puisi pun diakhiri
dengan tanda titik koma (;) sehingga masih satu kalimat majemuk dengan barisan
ketiga. Baris ketiga puisi sendiri berbunyi /ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput/
yang bisa saja merupakan penjelasan dari mengapa si aku lirik berdoa meminta
waktu sebentar sebelum ajal menjemput karena tanda titik koma (;) bisa
diartikan pula ‘dipakai pada akhir perincian yang berupa klausa’. Artinya,
puisi bersifat berkelanjutan yang dapat dibaca seperti /hatiku selembar daun yang jatuh di rumput, (tetapi/akan tetapi/namun) nanti dulu, biarkan aku sejenak
terbaring di sini, (sebab/karena) ada
yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput/.
Penghubung antara baris ketiga
serta baris keempat dihubungkan pula dengan titik koma (;) yang artinya masih
kesatuan pula dengan baris-baris sebelumnya merupakan kesatuan kalimat majemuk.
Baris keempat berbunyi /sesaat adalah
abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi/ yang apabila dihubungkan
menggunakan konjungsi sebab dengan baris sebelumnya memunculkan kohesi dan koherensi
antarbaris puisi dengan bunyinya menjadi /hatiku
selembar daun yang jatuh di rumput,
(tetapi/akan tetapi/namun) nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di
sini, (sebab/karena) ada yang masih
ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput, (sebab/karena) sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap
pagi/. Baris keempat menjadi penutup puisi karena sudah diakhiri dengan
tanda titik (.) yang menjadi tanda akhir dari sebuah kalimat.
Setelah disambungkan antarbarisnya,
puisi mengandung makna si aku lirik yang jiwanya bagaikan daun jatuh (sudah
layu atau mati) memohon kepada Tuhan untuk diberikan penangguhan waktu.
Permohonan tersebut disampaikan karena si aku lirik hendak melihat suatu hal
yang selalu luput dari pandangannya. Kesan penyesalan sangat dicerminkan dari
permohonan si aku lirik yang termuat di baris kedua dan baris ketiga puisi.
Kematian atau ajal yang bersifat sesaat, tetapi abadi menjadi alasan si aku
lirik memohon waktu sebentar kepada Tuhan sebelum ia menyesal melewatkan sesuatu
yang selalu luput dari dirinya. Yang dimaksud kau di baris terakhir adalah Tuhan yang diibaratkan menyapu halaman
dengan menyapu dedaunan layu yang mana dedaunan layu atau mati tersebut adalah
manusia-manusia yang menemui ajalnya. Maka dari itu, tema puisi Hatiku Selembar Daun adalah ketuhanan.
Selanjutnya adalah menentukan ikon,
simbol, serta indeks yang terkandung di dalam puisi setelah sebelumnya telah
memahami signifier dan signified dari puisi yang menghasilkan keutuhan makna
puisi sehingga dapat ditentukan pula tema dari puisi tersebut. Ikon adalah
tanda yang serupa dengan yang
ditandai, simbol adalah tanda yang tidak
serupa dengan yang ditandai, bersifat arbitrer dan konvensional, dan indeks
adalah tanda yang langsung secara otomatis memiliki keterkaitan dengan suatu
konteks (eksistensial).
Ikon di dalam puisi adalah seperti
ketika kita melihat di baris pertama sebuah daun yang jatuh ke rumput umumnya
merupakan daun yang telah layu atau mati sehingga terputus dari dahannya.
Kemudian, ikon juga ditemukan di baris keempat di mana daun yang jatuh dan yang
telah layu atau mati sewajarnya disapu agar tidak memenuhi sampah organik di
atas rumput. Maka dari itu, signifier daun yang mati sesuai dengan signified
daun yang mati dapat dimaknai secara ikon.
Simbol di dalam puisi adalah daun yang diibaratkan sebagai hati (jiwa) manusia dengan menggunakan metafora. Penyair mencoba mengkaitkan tersebut karena jiwa kita seperti daun yang layu atau mati, tidak akan berguna setelah jatuh dari tumbuhannya, menjadi pasrah hendak dibawa kemana. Mirip seperti jiwa kita ketika kematian dating di mana kita sudah tidak memiliki kehendak sendiri dan hanya bisa pasrah terhadap keputusan Tuhan yang akan menyapu jiwa kita.
Indeks di dalam puisi ditemukan di antara baris pertama dan keempat puisi. Di mana sewajarnya kita menyapu halaman yang sudah dipenuhi oleh dedaunan rontoh maka sesuai pula dengan apa yang berada di kedua baris tersebut. Apabila jiwa kita sebagai daun sudah memenuhi halaman maka akan dikumpulkan oleh Tuhan dengan disapu yang akan dipindahkan ke tempat pengumpulan sampah atau akhirat.
Komentar
Posting Komentar