Kajian Psikologi Pengarang Faisal Oddang dan Karyanya
Psikologi
pengarang merupakan salah satu bentuk kajian dari bidang ilmu psikologi sastra.
Bentuk kajian ini berpusat kepada kondisi kejiwaan seorang pengarang dalam
proses kreatifnya untuk menghasilkan sebuah karya
Kiprah Oddang
dalam dunia sastra Indonesia sudah diakui dengan dibuktikannya berbagai
prestasi yang telah ia raih meskipun masih tergolong pendatang baru.
Prestasi-prestasi yang telah pria kelahiran Wajo, 18 September 19994 tersebut
raih di antaranya penghargaan Cerpen terbaik Kompas tahun 2014, penghargaan
ASEAN Young Writers Award 2014 dari pemerintah Thailand, pemenang ke-4 dalam
Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta, dan masih banyak lagi. Kepiawaiannya
dalam dunia sastra serta hingga menghasilkan karya-karya yang cemerlang tidak
dapat dilepaskan dari kondisi kejiwaan dari seorang Oddang sebagai pengarang.
Pengarang
diasumsikan memiliki kepekaan lebih tajam dibandingkan manusia pada umumnya di
dalam kajian psikologi pengarang. Maka dari itu, kepekaan yang khusus itu
melahirkan pula karya yang khusus pula serta unik sehingga menarik ketika
dibaca. Oddang dalam karya-karyanya, baik dalam bentuk cerpen maupun novel, diketahui
suka melibatkan serta memasukkan unsur sejarah dan budaya di dalamnya. Terutama
unsur sejarah dan budaya Sulawesi Selatan yang merupakan tempat pria tersebut
lahir dan dibesarkan. Keterlibatan unsur sejarah dan budaya Sulawesi Selatan
dalam proses kreatif Faisal Oddang dapat dikaitkan dengan kejiwaan dari Oddang
sendiri.
Faisal Oddang
lahir dan tumbuh berkembang di Wajo, Sulawesi Selatan. Oddang mengungkapkan, bahwa
selama ia tumbuh besar, pihak keluargnya kerap menceritakan legenda-legenda
yang ada di kampung halamannya. Oddang yang ketika itu masih usia kanak-kanak
mempercayai legenda-legenda tersebut dan cerita-cerita tersebut tertabung di
memorinya hingga kelak ia seringkali teringat kembali akan cerita-cerita
tersebut di kala dewasa. Ingatan-ingatan masa kecil Oddang tersebut mengenai
legenda-legenda tanah Sulawesi membuatnya, baik secara sadar maupun tidak
sadar, banyak melibatkan unsur budaya dari Sulawesi Selatan ke dalam
karya-karyanya. Beberapa judul karyanya sendiri sangat mencerminkan budaya
Sulawesi, seperti buku kumpulan cerita berjudul Sawerigading Datang dari Laut yang mana Sawerigading merupakan
sebuah nama yang terdapat dalam cerita di kitab I La Galigo. Kemudian,
cerpennya yang berjudul Di Tubuh Tarra,
Dalam Rahim Pohon yang mana nama pohon Tarra identik dengan tradisi
passiliran di Desa Kambira, Sulawesi Selatan. Kondisi kejiwaan pengarang dalam
kasus Faisal Oddang terbukti memengaruhi proses kreatifnya.
Unsur sejarah
sendiri dihadirkan oleh Oddang karena ia melihat bahwa semua hal di dunia tidak
ada yang baru, tergantung terhadap perspektif kita saja yang bisa membuat
sesuatu yang usang menjadi baru lagi. Dapat diinterpretasikan bahwa Oddang
menganggap semua gagasan yang muncul dari pengarang bukanlah hal yang baru,
tetapi menjadi baru akibat dari perspektif pengarang itu sendiri yang membuat
sesuatu usang menjadi menarik. Hal tersebut sejalan dengan kaidah-kaidah yang
terkandung di dalam ilmu psikologi pengarang.
Pinsip yang
dipegang oleh Oddang mengenai perspektif tercermin di setiap karyanya, di mana
meskipun melibatkan unsur-unsur sejarah yang terkesan usang, ia mengolah
sejarah tersebut menjadi baru dengan mengganti perspektif lain dari sejarah
yang selama ini terabaikan karena menurut Winston Churchill sejarah ditulis
oleh pemenang. Maka dari itu, sejarah yang dilibatkan Oddang di dalam karyanya
menggunakan perspektif dari mereka yang bukan pemenang atau dari perspektif
lain yang tidak tersentuh oleh sejarah tersebut. Contohnya di novelnya yang
berjudul Tiba Sebelum Berangkat (1) dan Puya
ke Puya (2). Novel pertama melibatkan sejarah pemberontakan DI/TII yang
selama ini tertulis di sejarah hanya sebuah pemberontakan antara KGSS dengan
APRIS, tetapi dalam novel diperlihatkan sudut pandang dari merek yang
terdampak, seperti warga sipil serta komunitas Bissu. Oddang juga mengangkat kembali hal ini dalam cerpennya yang
berjudul Siapa Suruh Sekolah di Hari
Minggu?.
Selanjutnya, di
novel kedua, Oddang mempertunjukkan sudut pandang (perspektif) suku Toraja
dengan budayanya yang mana ketua adat suatu kampung di tanah Toraja haruslah dimakamkan
dengan upacara yang besar-besaran. Oddang membangun perspektif baru serta
pertanyaan dari hal tersebut dengan memunculkan tokoh Allu Ralla yang menolak
mengadakan upacara adat pemakaman ayahnya yang merupakan ketua adat karena
masalah finansial. Perspektif tersebut membuat budaya serta sejarah dari suku
Toraja dapat menjadi gagasan penting dalam berkarya sehingga menarik untuk
dibaca.
Faisal Oddang pun
memiliki kecenderungan menyukai sesuatu yang lugu karena ia menganggap bahwa
keluguan tersebut menciptakan gagasan yang unik serta menarik. Oddang
menganggap sesuatu yang sistematis dan terstruktur merupakan hal yang merusak
sebuah keluguan. Ketertarikan Oddang terhadap keluguan ditunjukkan dengan tokoh
Rahing yang terdapat dalam cerpennya berjudul Siapa Suruh Sekolah di Hari Minggu?. Keluguan Rahing ditunjukkan
dalam kutipan monolog berikut.
AYAH pernah bilang saya akan ditembak kalau tentara tangkap saya. Ayah pasti sudah berdosa karena bohong, karena tentara tidak tembak saya. Tentara bilang akan kasih permen, kalau mau cerita kenapa saya memotong leher kakak saya. Saya juga nanti dilepas dan dibiarkan pulang ke hutan. Saya jadi senang karena besok hari Minggu dan saya akan diberi hadiah oleh Guru Semmang karena saya sudah hafal doa sebelum tidur.
Dapat disimpulkan terdapat 3 aspek yang melatarbelakangi kondisi kejiwaan dari Faisal Oddang dalam proses kreatifnya, yaitu (1) tabungan cerita yang terpendam, (2) perspektif pengarang, dan (3) imajinatif yang lugu. Terbukti bahwa karya-karya yang Oddang hasilkan menunjukkan kejiwaan-kejiwaan unik yang terdapat di dalam pikiran Oddang sehingga dari kejiwaan tersebut menghasilkan karya yang unik serta khas mencerminkan kondisi kejiwaan pengarang karya itu sendiri.
Komentar
Posting Komentar