Si Bodoh


Najeela. Ela nama panggilannya. Nama yang indah untuk orang terindah. Ah, rasanya tidak cukup cuma melihatnya sehari saja. Matahari yang bersinar cerah di atas kepalaku tidak ada apa-apanya dibanding Ela. Senyum Ela yang cerah sekali. Aku tebak matahari pun pasti duduk termangu karena kalah cerah dengan senyum Ela. Waktu istirahatku kali ini, seperti biasa, kuhabiskan dengan memandangi Ela dari lantai tiga sekolah. Ela yang selama ini kuamati, memiliki kegiatan yang selalu dia lakukan ketika waktu istirahat, yaitu menonton siswa laki-laki bermain basket di lapangan. Tentu saja aku juga tahu siapa yang selama ini Ela tonton, tidak lain dan tidak bukan, Raden, siswa kelas 12 MIPA 3. Sangat wajar apabila Ela sepertinya menyukai Raden, karena lelaki satu itu memang rupawan parasnya. Tidak hanya Ela sebenarnya yang menyukai Raden, aku rasa para guru pun juga tidak luput dari jebakan pesona Raden. Sayang sekali, Radeng bukan tipeku. Tambahan, Raden juga menyebalkan karena dia tidak sadar dengan perasaan Ela. Aku menghela napas. Ela mungkin mempunyai senyum yang paling cerah sejagat raya, tetapi seleranya jelek sekali. Tidak apa, semua manusia pasti mempunyai kekurangan. Ela pun begitu. Aku kembali memandang syahda Ela yang tersenyum cerah menonton Raden bermain basket bersama siswa laki-laki lain. Sialan. Jelas sekali kalau Raden, si bodoh itu, tidak mengetahui perasaan Ela. Raden bodoh, benar-benar lelaki bodoh, umpatku pelan.

“Permisi cantik, halo, Ela terus yang dilihat. Itu juga mulutnya kok menggerutu? Ela lagi, ya?,” Zalifa dengan nada menggoda menghampiriku. Aku mendengus pelan, lalu berjalan masuk ke dalam kelas. “Neng geulis kok marah,” Zalifa menggodaku lagi dan aku mendengar langkah kakinya mengekor. “Sehari enggak jahil sama ganggu aku bisa tidak?” ucapku pelan sembari berjalan cepat menuju mejaku. Zalifa memang menyebalkan. Apa dia tidak senang melihat teman ‘belok’nya ini menikmati waktunya. Ralat, kalau kondisi saat ini bisa dibilang aku termasuk ke dalam biseksual, tertarik kepada kedua jenis kelamin, dan bukan lesbian lagi seperti dulu. “Aku kan cuman bercanda, hehe,” jawab Zalifa memeluk manja lenganku. “Geuleuh sia, lepas atau mati,” ancamku serius. “Ampun, neng geulis. Iya, ini lepas kok,” Zalifa tersenyum lebar menatapku. Aku pun ikut tersenyum melihatnya. 

Sudah berapa lama ya, aku berteman dengan perempuan satu ini. Tingkahnya yang selalu di luar dugaanku. Kelucuannya yang tidak ada obat. Tidak lupa keceriaannya yang selalu terpancar menular ke sekitarnya. Dia yang setia menjadi temanku, teman baikku, bahkan ketika aku berbicara mengenai orientasi seksualku pun dia tetap setia menjadi temanku. Tidak menyesal dulu aku mengizinkannya untuk masuk ke dalam rumahku, awal pertemuan kami, dan mengobati luka di lututnya karena terjatuh dari sepeda di depan rumahku. Masih terekam jelas ekspresi Zalifa yang menahan tangis di depanku, yang akhirnya Zalifa bercerita bahwa dia saat itu malu menangis di depan orang asing.

“Bercanda Za, hehe. Omong-omong, nanti pulang kayak biasa, kan? Atau kamu ada rapat organisasi dulu?” aku bertanya sembari duduk lalu mengeluarkan beberapa buku untuk jam terakhir hari ini. Zalifa kemudian duduk di sebelahku, “Enggak ada rapat kok hari ini, tetapi aku boleh minta tolong tidak, Farrah?” aku memutar bola mataku sebagai respon penolakan. “Ya Allah, sekali ini doang,” Zalifa menyatukan telapak tangannya memohon, “Please,” pinta Zalifa dengan nada memelas. “Bulan ini terhitung sudah tujuh kali kamu minta tolong, jadi ini bukan sekali doang” tolakku sekali lagi. “Terakhir demi, ini terakhir,” Zalifa memberikan pose jari ‘v’ di kedua tangannya. Aku menyipitkan mataku menatap curiga Zalifa dan masih tidak mau menolong. “Demi Allah, Farrah. Ya Allah, mau aku kasih bogem mentah atau bantuin aku?” kulihat tatapan mata putus asa di Zalifa. “Minta tolongnya enggak aneh-aneh kayak yang dulu-dulu, kan? Kalo iya, aku mau,” aku menghela napas, akhirnya mau, penolakanku jelas bukan tanpa sebab karena setiap Zalifa meminta tolong, dia akan meminta tolong hal yang aneh. Aku juga bodoh sudah tahu kalau permintaan Zalifa aneh, tetapi masih bersedia saja aku untuk menolongnya. 

Seruan bel sekolah menandai dimulainya jam pelajaran terakhir berbunyi. Kulihat Zalifa tersenyum ceria penuh kemenangan, padahal biasanya dia tidak akan tersenyum seperti itu di jam terakhir. Aku menghela napas terheran kepada diriku sendiri yang tidak bisa menolak permintaan Zalifa. Bulu kudukku merinding menunggu permintaan apa yang hendak Zalifa ucapkan, terlebih melihat senyumnya yang semakin menyeramkan. “Waktumu cuman tersisa 10 detik untuk mengucapkan permintaanmu,” aku berbicara pelan melihat ibu guru sudah memasuki ruang kelas. Zalifa mengambil beberapa buku untuk pelajaran terakhir di laci “Kunci motormu, berikan padaku,” aku segera merogoh saku celanaku, “Ha, cuman itu?” aku menyeletuk heran sembari memberikan kunci motorku kepada Zalifa. “Tentu saja tidak, dasar bodoh. Selain itu, aku minta tolong nanti pulang sekolah kamu ke gudang penyimpanan olahraga, sepatu olahragaku tertinggal di sana kemarin,” aku melotot hendak protes, “Kalo kamu mau, aku berikan saldo go-pay seratus lima puluh ribu nanti,” Zalifa tersenyum licik. Mulutku yang tadinya terbuka hendak protes tertutup kembali, “Janji?” aku melihat ke Zalifa dengan ekor mataku. “Iya, janji,” ujar Zalifa. 

Tidak terasa matahari mulai turun dari khatulistiwa hendak istirahat sebelum nantinya bulan muncul untuk berjaga. Semburat cahaya senja menemaniku berjalan santai di koridor sekolah menuju ke ruangan gudang penyimpanan peralatan olahraga. Sekolah masih cukup ramai diisi siswa-siswi yang mondar-mandir mengurusi urusan organisasi maupun pengumpulan tugas sekolah. Seharusnya sekarang aku sudah dalam perjalanan pulang bersama Zalifa, tetapi karena permintaan sialannya akhirnya tibalah aku di depan pintu ruangan penyimpanan olahraga. Aku membuka pintunya sembari bernapas lega karena belum dikunci oleh satpam. Ketika aku hendak masuk ke dalam ruangan tersebut, aku mendengar suara cukup asing di telingaku, “Farrah? Tumben, ada urusan apa?” kulihat Raden berjalan mendekat membawa kunci dan bola basket di tangannya, kutebak pasti dia hendak mengembalikkan bola basket lalu mengunci ruangan ini. Raden menaikkan alisnya terheran melihatku di depan ruangan ini, “Oh, Raden, ini aku cuman mau mengambil sepatu olahraga Zalifa, katanya ketinggalan di sini,” aku menggaruk belakang kepalaku, “Maaf ya, gak izin dulu,” aku berbicara kikuk karena tidak mengira Raden akan memergokiku memasuki ruangan penyimpanan olahraga tanpa seizin siswa anggota ekskul olahraga. “Iya, enggak apa-apa, kebetulan aku juga mau mengembalikan bola basket,” Raden melewatiku dan masuk ke dalam ruangan. Aku berjalan mengekor lalu menutup pintu ruangan. 

Sunyi menemani kami berdua di dalam ruangan. Keringatku sudah bercucuran melengkapi kesunyian di dalam ruangan ini. Suara siswa-siswi di luar ruangan yang awalnya cukup ramai terdengar semakin hening. Raden menungguku menemukan sepatu olahraga Zalifa yang sulit sekali kutemukan. Zalifa bajingan. Sudah delapan keranjang bola aku periksa, sudah aku cek seluruh sudut ruangan, tetapi tidak kutemukan juga sepatu olahraga itu. “Butuh bantuan?” Raden menawarkan bantuan kepadaku yang keras kepala hanya ingin mencari sendiri. “Enggak usah, aku nyerah, mau pulang,” Raden terkekeh mendengar jawabanku. Aku berjalan mengeraskan setiap langkah kakiku keluar dari ruangan. Kudengar langkah kaki Raden mengekor dan sempat kulihat dia tersenyum lebar, sepertinya mengejekku yang ditipu oleh Zalifa. Aku menunggu Raden mengunci ruangan, sebagai bentuk terima kasih sudah bersabar menemani pencarianku yang ternyata hanya kejahilan Zalifa kepadaku, “Sudah, yuk, ke parkiran,” Raden berjalan mendahuluiku dan aku berjalan mengikutinya.

Aku memandang Raden dari belakang. Memang tidak salah kalau banyak orang yang tertarik dengannya, termasuk Ela. Dilihat dari mana pun fisik Raden memancarkan magnet karena pahatan fisiknya yang menarik. Terlebih sikapnya yang tercatat baik selama bersekolah di sini semakin membuat jatuh cinta seluruh warga sekolah. Padahal dulu ketika awal masuk SMA, Raden bukan termasuk jajaran siswa laki-laki yang menarik, tetapi tentu saja pubertas merubah fisiknya sehingga bisa menjadi seperti sekarang. Sayang sekali, pubertas tidak terlalu banyak merubah bentuk tubuhku. Aku merupakan salah satu perempuan yang mengalami masa pubertas lebih awal dari perempuan lain. Ketika SMP aku termasuk remaja yang memiliki tinggi badan lebih di antara yang lain, tetapi sekarang aku termasuk mungil untuk ukuran remaja seumuranku. Ya, tinggi badanku tidak pernah bertambah sejak SMP. Aku menggelengkan kepalaku menyingkirkan pikiran tidak jelasku itu. Tidak baik terlalu memikirkan apa yang tidak kita punya. Mari pikirkan tugas apa saja yang harus aku kerjakan nanti malam. Aku seharusnya bersyukur karena masa pubertasku tidak dipenuhi masalah besar remaja-remaja seumuranku pada umumnya, yaitu masalah jerawat di muka. Zalifa pun pernah berkata kepadaku bahwa aku memiliki fisik yang cukup menarik. Meskipun mungil, tetapi aku mempunyai kulit yang bersih dan tidak kusam sehingga menurut Zalifa masih enak dipandang. 

“Farrah, parkiran di sebelah sini,” aku tersadar dari pikiranku dan menoleh ke belakang melihat Raden menutup mulutnya menahan tawa. Dapat kurasakan mukaku memanas menahan malu, “Iya, terima kasih sudah mengingatkan, aku pulang dulu,” aku berbalik lalu berjalan cepat melewati Raden. Sesampainya di parkiran aku tertegun karena motorku sudah tidak ada di tempatnya. Zalifa bajingan, perempuan sialan, bisa-bisanya aku untuk kesekian kalinya dibodohi seperti ini. Aku segera merogoh saku celanaku untuk mengambil handphone-ku. Aku segera melihat notifikasi di handphone-ku. Mataku melotot membaca pesan singkat dari Zalifa yang menyuruhku pulang bersama Raden dan dia akan mengembalikan motorku nanti malam. “Perempuan sialan”, rutukku. Aku membalikkan badanku dan melihat si bodoh Raden yang hanya senyam-senyum tidak jelas, menandakan bahwa ternyata dia kemungkinan sudah tahu sejak awal bahwa Zalifa akan pulang terlebih dahulu membawa motorku. “Haha, lucu ya kamu, Farrah. Omong-omong, sebelum pulang, ada yang mau aku sampaikan,” Raden mendekat, terlalu dekat. Raden menunduk dan membisikkan sesuatu kepadaku. 


Aku terdiam mendengarnya. Hah? Aku rasa, aku ingin menghilang saja. 

Raden?

Aku?

Kenapa harus aku? Kenapa bukan Ela? Bukankah seharusnya Ela yang menerima pernyataan semacam ini?

Aku mengangkat kepalaku. Memberanikan diri menatap wajah Raden.

“Sejak kapan?” tanyaku pelan.

“Dari awal masuk di sekolah,” jawab Raden, tersenyum.

Farrah bodoh, benar-benar bodoh, umpatku.  

Komentar

Postingan Populer