Kodrat

Kodrat (n.) sifat asli; sifat bawaan.

“Za, menurutmu, kodrat itu apa?” tanyaku, suatu hari, kepada Zalifa sahabatku.

“Kodrat ya? Mau jawaban scientific atau pure opiniku?” tanya balik Zalifa.

Aku terdiam sembari memandang langit malam yang dipenuhi bintang. Kami berdua merebahkan diri di halaman belakang rumahku, saling bersebelahan dan sama-sama menengadah. “Syd? Jadi tanya gak? Kok diem? Kepikiran apa?” kudengar Zalifa bertanya lagi. Memang sudah tabiat Zalifa apabila aku bertanya satu pertanyaan justru bukan jawaban yang aku terima, melainkan pertanyaan balik yang bertubi-tubi. Mengesalkan memang. Tetapi hanya Zalifa yang mau bertahan lama berteman denganku yang membawa label tidak mengenakkan ini.

“Hm, opini aja deh, biar ketahuan kepintaranmu sudah sejauh mana.” Aku menjawabnya tanpa menoleh. Zalifa memukul lenganku, kebiasaannya apabila kesal karena aku yang selalu menjawab pertanyaannya dengan candaan. Aku hanya mengaduh sembari tersenyum lebar. Zalifa akhirnya mulai menjawab pertanyaanku.

Bukannya mendengarkan, pikiranku tiba-tiba berkelana. Kodrat ya. Kupandang langit berbintang diatas sana. Tepat hari ini adalah hari aku bertambah umur. Dari tujuh belas tahun menjadi delapan belas tahun. Aku membayangkan diriku yang dulu dengan sekarang. Perbandingan yang cukup jauh kalau dipikir-pikir. Dari seorang anak kecil yang tingginya hanya 143 cm hingga tinggiku yang sekarang 172 cm. Dari seorang anak kecil yang bertubuh gempal berpipi gembul hingga bertubuh semampai berpipi tirus. Aku mendengar samar-samar suara Zalifa yang terus berbicara.

“Itu sih menurutku soal kodrat, kenapa tiba-tiba tanya kodrat?” Zalifa merubah posisinya menjadi duduk bersila. Aku menghela napas sejenak lalu tersenyum. “Yah, cuman pengen tahu aja. Random banget ya alasannya?” ucapku seraya tersenyum semakin lebar menatap Zalifa.

“Masuk yuk, banyak nyamuk. Gak gatel apa badannya daritadi.” Aku bangun dari posisiku dan berjalan masuk ke rumah diikuti Zalifa yang mengekor di belakangku.

***

Zalifa sudah pulang. Sekarang pukul 11 malam. Aku terdiam di dalam kamarku yang gelap. Lampu sudah kumatikan. Badan sudah kubaringkan. Tetapi pikiranku seperti tupai yang tak tahu kapan harus berhenti melompat. Memikirkan banyak hal seperti menjadi prioritas utama otakku sekarang, tidur dan beristirahat seakan dianaktirikan olehnya. Tanggal delapan belas Agustus, untuk aku yang resmi berumur depalan belas tahun.

Delapan belas tahun yang berkesan. Delapan belas tahun yang menyenangkan. Dan delapan belas tahun yang patut dibanggakan. Terima kasih sudah tidak menyerah. Terima kasih sudah tidak peduli dan tutup telinga. Kamu hebat atas delapan belas tahun yang penuh warna. Banyak orang terlahir normal, banyak orang juga terlahir abnormal. Mereka terlahir sesuai takdir mereka masing-masing. Lahir membawa kelebihan dan kekurangan masing-masing. Semua sesuai porsinya masing-masing. Tuhan baik sekali ya? Bisa dilahirkan dan melihat dunia saja hanya segelintir manusia yang bisa merasakannya. Aku, Harun Arrasyd, satu dari sekian banyak manusia yang mendapatkan nikmat tersebut. Aku yang seorang lelaki tulen. Aku yang normal. Semuanya menurutku normal. Hingga mencapai usia 6 tahun aku tahu aku tidak normal. Tidak! Bukan fisik yang aku bahas kali ini. Bukan juga faktor luar lain seperti orang tua, kondisi ekonomi, dan sebagainya yang aku bahas kali ini. Ini persoalan kodrat. Kodrat lelaki untuk gagah. Kodrat lelaki untuk kuat. Untuk bersuara berat, lantang, dan berani bagaikan singa jantan. Menyukai bola, aktivitas yang berhubungan dengan fisik, dan hal-hal lain berbau 'lelaki'. Aku yang terlahir tanpa semua itu. Aku masih normal kok, setidaknya menurutku. Aku masih menyukai lawan jenisku. Aku pun masih mencoba menjadi apa yang dunia mau. Menjadi apa yang dunia harapkan kepadaku. Tetapi sulit ya? Sulit sekali menjadi manusia yang berguna menurut dunia. Memenuhi ekspetasi yang kerap datang dan tidak terpenuhi. Tidak mudah tetapi aku selalu mencoba. Mencoba memenuhi standar berguna menurut dunia.

Aku tidak tahu sejak kapan label ini menempel kepadaku. Label yang kubenci. Label yang ingin kuubah. Sebuah aib, menurutku, yang banyak orang sekali melihat diriku, mereka langsung tahu.  Hal berbeda dan tidak normal ini pertama kali aku rasakan ketika memasuki sekolah dasar. Aku yang saat itu semangat memasuki kelas 1, sendirian di bangku dengan sekitarku diisi anak-anak sekelas didampingi dengan orang tua mereka masing-masing. Semua berjalan normal hingga tiba waktunya diriku dipanggil guru dan dipersilahkan maju ke depan kelas untuk memperkenalkan diri. Aku tidak tahu apa yang salah tetapi seisi ruangan tertawa. Mereka menertawaiku. Aku yang awalnya bersemangat hanya bisa meringis kebingungan. Bingung apa yang mereka tertawakan. Aku berdiri di depan kelas seperti badut yang menghibur mereka. Seorang anak kecil yang tidak tahu bahwa ia telah dilabeli oleh dunia sekitarnya. Label baru yang membuat diriku dibawah strata mereka.

Lambat laun aku mulai mengerti. Aku yang selalu di kelompokkan ke kelompok perempuan ketika jam olahraga. Aku yang selalu ditegur untuk tidak berlagak seperti perempuan. Aku yang selalu dipandang tidak normal oleh semua orang. Aku yang dulu masih kecil hanya menuruti apa yang orang pinta. Jadi lelaki harus pintar olahraga. Aku pun mengikuti semua kegiatan olahraga yang menurut mereka mencerminkan lelaki. Les renang, pencak silat, panahan, sepak bola, dan atletik semua aku ikuti. Walaupun mendapat diskriminasi dan mendapatkan tatapan rendah di setiap pertemuannya, semua aku tahan demi mewujudkan apa yang mereka mau. Jadi lelaki harus berbadan tinggi, kuat, dan tidak gemulai. Aku mulai giat minum susu dan rajin menghadiri les renang untuk mewujudkan apa mau mereka. Jadi lelaki harus punya hobi lelaki. Kutonton dan kucari hobi apa yang mencerminkan lelaki, sepak bola kah? bersepeda kah? menonton bola kah? bermain game? Aku lakukan semuanya seperti keledai di dongeng anak kecil. Ini semua karena label itu, teriakan itu, sebutan itu, satu kata yang hingga saat ini aku benci mendengarnya. Banci.

Aku tidak meminta terlahir seperti itu. Aku tidak meminta label seperti itu. Namaku Rasyd, panggil aku Rasyd, bukan banci. Aku yang lelah akan label dari masyarakat tersebut akhirnya mencoba bercerita kepada keluargaku. Ternyata mereka sama saja seperti orang lain. Mereka setuju. Hanya aku yang selama ini mengira aku normal. Menyedihkan bukan? Di titik tersebut semua terasa saling terhubung, keluarga besarku yang selalu memandangku aneh, aku yang jarang diajak ke acara keluarga besar. Semua terasa saling berkaitan. Apakah mereka malu? Apakah aku benar-benar seperti perempuan? Aku selalu memikirkan hal tersebut di malam hari disaat anak lain bermimpi indah. Hidup cukup rumit bagiku. Aku tahu sudah sepatutnya aku bersyukur masih diberi kesempatan hidup, melihat dunia, memiliki keluarga harmonis, aku yang hidup berkecukupan. Tidak pantas rasanya aku mengeluh, aku yang akhirnya selalu menanamkan kepada diriku. Tersenyum. Selalu tersenyum. Apapun yang terjadi. Bersyukurlah setiap hari.

Aku yang jarang menangis. Aku yang sukar meluapkan emosi. Diriku itu tercipta akibat label tersebut. Walaupun di lempar minuman oleh seseorang akibat label itu. Walaupun tidak ada teman yang mau sebangku denganku akibat label itu. Aku tetap diam dan memendam semua. Para lelaki yang seharusnya bisa menjadi temanku selalu memasang wajah sungkan kepadaku. Para perempuan yang seharusnya bisa menjadi temanku selalu menegurku dan menyuruhku bersikap seperti lelaki pada umumnya. Selama delapan belas tahun aku hidup seperti itu. Aku yang sekarang sudah kebal. Label tersebut walaupun terus menempel di diriku tetapi aku yang sekarang sudah tidak peduli. Jadi dirimu yang terbaik. Terbaik versi dirimu. Dibalik semua ini pasti ada hikmah. Aku yang selalu menanamkan kepada diriku sendiri untuk hidup setidaknya menjadi orang baik. Setidaknya menjadi hamba Tuhan yang penurut. Kodrat itu tidak jelas siapa yang mengatur. Siapa yang mencetuskan. Maka dari itu tidak usah khawatir, tidak usah dipikirkan. Nyatanya di umur yang ke delapan belasmu ini masih ada kok segelintir orang yang mau berteman denganmu. Yang mengerti apa ketakutanmu. Yang selalu mendukungmu. Yang menerima label yang menempel di dirimu. Tuhan itu baik ya? Ia yang tidak pernah meninggalkanku, Ia yang menguatkanku hingga kini aku tumbuh dewasa menjadi pribadi terbaik versi diriku. Benar sesuai janji-Nya di salah satu ayat yang berbunyi,

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan.

Dan Tuhan tidak pernah mengingkari janjinya.

Dan Tuhan selalu menepati janji-Nya.

Aku tersenyum samar sembari mengaitkan jariku. Berdoa kepada Tuhan diberikan bunga tidur yang indah di waktu malam. Berdoa agar esok, aku bukan termasuk orang yang merugi. Bukan termasuk orang yang terperangkap label. Aku yang sekarang sudah melepas label tersebut. Ini bukan label ternyata. Ini anugerah. Anugerah yang Tuhan titipkan kepadaku. Karena aku spesial. Karena Tuhan tahu aku mampu. Semakin aku bersyukur, semakin Tuhan menambahkan nikmat untukku. Aku yang selalu percaya akan hal tersebut karena Tuhan selalu menepati janji-Nya, bukankah begitu, Tuhan?

Ya.


Komentar

  1. Keren bang deoo, kisahnya menarik

    BalasHapus
  2. Asli keren, Believe it or not, my eyes are teary.

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasihh Didaa🙏 emang tujuan gue bikin nangis pembaca dads😭

      Hapus
  3. Deo bagus bangettt, aku tau sih itu isi ceritanya tentang apa, semangattttt gwenchana ne

    BalasHapus
  4. DEO INI BAGUS BANGET???????
    terima kasih sudah mengangkat cerpen dengan topik yang cukup relate dengan pandangan salah masyarakat terhadap kodrat. semangat terus, aku bacanya mau nangis alias kamu penuturan kamu masuk bgt ke hati ak<3

    BalasHapus
  5. Baguuss banget deoo, aku tertarik membaca sampee akhiiirrkhiir, Semangat Deo !!!!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer